Islam Pembebasan

November 30, 2007 pukul 3:12 am | Ditulis dalam Agama, Artikel, Pendidikan | 6 Komentar

DIMENSI LIBERALISASI DALAM PESAN ISLAM

Oleh Iir Ab. Haris1

 

Pengantar

Dalam perkembangan dan gerakan pemikiran Islam, mencari otentisitas kebenaran Islam telah sangat panjang dicari dalam dua tradisi besar Islam dengan ragam variannya : Sunni dan Syi`ah. Keduanya hampir mufakat mencari akar otentisitas pada bagaimana Nabi dan generasi di masa awal memahami wahyu dalam ruang sejarah mereka, tetapi berujung pada interpretasi otentisitas yang nyaris buntu untuk dipertemukan. 2

Kebutuhan atas otentisitas tersebut semakin mendesak seturut tantangan atas peran agama yang lebih progresif dalam menciptakan tatanan dunia yang adil dan penuh perdamaian dalam mobilitas idiologi dan sosial yang sangat tinggi. Terdapat anggapan cukup luas bahwa ‘agama‘ dalam banyak kasus justru memberikan banyak sumbangan berarti pada munculnya kekerasan, dukungan pada kekuasaan yang tiran, diskriminatif, dan menyimpan muatan tunda sekrarianitas.

Dalam makalah singkat ini, dengan arah kemufakatan yang sama dalam tradisi besar Islam. — Mudah – mudahan tidak nyaris buntu untuk dipertemukan — penulis akan mendedah secara singkat beberapa dimensi penting dalam watak liberalitas ajaran Islam.

 

Konteks Pembebasan dalam Kerasulan Muhammad

” Theologi Pembebasan ” merupakan istilah kontemporer yang melapisi suatu pemikiran, refleksi, dan gerakan keagamaan pada penghujung abad XX yang berupaya mencari otentisitas agama pada ranah praktis dalam mewujudkan ” keadilan yang komprehensif, refleksi theologis yang muncul darinya, dan pembentukan ulang praksis berdasarkan refleksi tersebut “. Pada mulanya term ini banyak diperkenalkan oleh tokoh – tokoh gerakan keagamaan dalan naungan gerakan gereja di Amerika Latin dalam menentang represifitas politik dan hegemonik tiran rezim – rezim berkuasa.3

Dalam perkembangan mutakhir, istilah ini menjadi suatu mainstraim baru dalam wacana keagamaan yang digendong dalam suatu artikulasi ulang atas theologi keagamaan yang formatif – skolastis yang cenderung minim dengan nilai – nilai praxis. Theologi pembebasan ini diandaikan tampil pada sosok individu maupun kolektif tokoh – tokoh keagamaan yang menempatkan agama sebagai basis bagi legitimasi dan identitas perjuangan bagi keadilan dengan mengemaskulasi simbol-simbol artifisial fakultatif.

Pandangan ini muncul, dalam kepercayaan penulis, sebagai respon atas pelapisan dan penyelimutan bertahap atas makna substansial essensial agama – agama dunia dalam perjalanan panjang sejarah yang memintal agama pada pelembagaan – pelembagaan artifisial dan simbolik-ritualis. Bahkan dalam tahap paling kritis, terjadi penunggalan antara agama dan pemikiran agama sehingga mengkritisi penafsiran agama menjadi tugas sulit dan penuh resiko karena akan dianggap sebagai mengganggu agama itu sendiri.

Keyakinan penulis, memahami kerasulan Muhammad dalan pelapisan ` theologi pembebasan di atas dapat dicari maknanya sebagai perpanjangan kehendak Tuhan yang aktif dalam sejarah melalui peraturan-Nya dalam kitab suci. Makna ini dapat dicari dalam ruang terbuka teks yang penuh tenggara- tenggara duniawi, historia dan kaya lakon-lakon dari model kenabian pra Muhammad. Makna-makna ini dibuka dalam peran – peran responsifnya atas wahyu dalam sejarah pewahyuan Mekkah dan Medinah yang phenomenal dalam sejarah. Akan penulis tawarkan pendekatan ini :

Periode Mekkah : Seruan Moralis Nabi Kuno yang Berwenang

Para mufassir dan sejarawan klasik mengkonstatir peran terbuka Nabi di Mekkah. Periode ini ditandai oleh seruan-seruan Al-Qur`an yang lebih bersipat umum dalam obyek dan moral spesifik dalam materi. Dalam bukti – bukti :

  1. Kata ` manusia ` ( an – nas dan bani Adam ) banyak digunakan dalam pembuka dalam seruan bahwa obyek seruan wahyu terbuka bagi segenap lapisan masyarakat di luar jangkauan atribut kelompok kepercayaan;

  2. kandungan ayat-ayat Makki lebih penuh muatan seruan tauhid yang simultan dan menghentak jantung kepercayaan masyarakat arab yang terpecah – pecah, liar, dan keras kepala ( Jahiliah )

  3. Isu-isu besar ayat Makki sangat diwarnai oleh seruan kepedulian atas kemiskinan, yatim, dan perbudakan sebagai suatu respon aktual Al-Qur`an pada sistem sosio-ekonomi Mekkah yang eksploitatif dan struktur sosial yang berubah cepat dalam model kota perdagangan kuno Arabiah yang dikuasai oleh lapis Aristokrat Quraisy.4

  4. Penggalan ayat-ayat Makki merupakan kombinasi hurup yang menghentak, satuan ayat yang pendek – pendek dalam karakteristik seruan yang tegas seperti terlihat dalam banyak surat di juz 30, sangat cocok dengan arah pewahyuan Makki.

Sejarah Nabi – Nabi Arabia kuno banyak disebut dalam berbagai surat yang meneguhkan karakteristik dari kontinuitas tradisi monoteistik. 5 Ini makin memperkuat daya cakup terbuka seruan Qur`an antar kelompok beriman di lingkungan ahl al-kitab dan hanif di satu sisi, serta pengukuh-asasan netralitas seruan bagi kalangan non-ahl al-kitab dan hanif yang dikenal sebagai kelompok ummiyyin pada struktur tertutup sistem sosio-ekonomi Aristokrat Quraisy di sisi yang lain.

Hal yang kadang disalahpahami, seruan monoteistik dianggap sebagai satu-satunya target wahyu Makki, padahal berbarengan dengan seruan tersebut, peran kenabian pra Muhammad secara konsisten dituturkan untuk mengukuhkan seruan Rasulullah pada upaya pembebasan masyarakat dari kemiskinan struktural karena keserakahan sistem ataupun pemberdayaan masyarakat marginal (kelompok miskin, yatim, wanita dan budak) yang tersisih akibat struktur sosial yang diskriminatif yang diturunkan dari pandangan ketuhanan yang paganistik (isyrakiyyah).

Ketauhidan dalam sejarah kenabian memiliki ujung bagi efektifitas pembebasan manusia dari selain penghambaan pada Tuhan. Nuh, Musa, Ibrahim, Isa, Yusuf, Daud, Sulaiman, Zakaria dan ribuan Nabi lainnya adalah utusan- utusan Tuhan yang memberikan peringatan, penyadaran dan sekaligus melakukan gerakan aktif pembebasan. Musuh aktif mereka yang sering dirujuk Qur`an adalah kelompok al mala` ( aristokrasi ). Dalam tahap inilah Nabi memainkan perannya sebagaimana nabi-nabi sebelumnya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di bawah prinsip tauhid.

Sebagai catatan khusus penulis, pada periode ini, Rasullah memerankan kenabian lebih didasarkan pada wewenang6 bukan kekuasaan. Sebuah otoritas yang muncul dalam hubungan pribadi tanpa ada kendala fisik atau hukum. Dalam ranah inilah, kerasulan Muhammad di Mekkah menempati peran vital kenabian di luar kerangka struktur politis dan ruang kekuasaan.7 Wahyu Makki’ di tangan Rasul diarahkan pada publik manusia pada ruang yang terbuka dalam arti yang sesungguhnya. Nilai-nilai pembebasan sebagai turunan langsung tauhid pada periode ini benar – benar unik karena turun dari lingkaran pewahyuan yang bebas dari ikhtiar politik – kekuasaan dari ‘negara’.

Mahmud Thaha mengkonstatir bahwa pesan yang diserukan di Mekah merupakan tujuan puncak sesungguhnya dari risalah Muhammad, sedangkan pesan Medinah tidak lebih sebagai kondisi transisional karena keterbatasan masyarakat dalam menerima pesan-pesan kemanusiaan universal. Pesan yang sesungguhnya merupakan identitas dan bahkan jantung dari makna islam sebagai agama kemanusiaan.8

Periode Madinah :Seruan Formatif Nabi yang Berkuasa

Periode ini ditandai oleh migrasi ( Hijrah ) Nabi dan para sahabatnya ke Yatsrib pada tahun 622 M akibat penolakan represif yang diikuti teror mengerikan dari para aristokrasi Mekkah atas seruan Rasul. Penduduk Yatsrib (terutama kabilah Aus dan Khajraj) yang terlibat konflik di antara mereka sangat membutuhkan figur yang dapat menjadi penengah di antara mereka.

Setibanya di Yatsrib (kemudian diubah nama menjadi Medinah) Rasul melakukan konsolidasi masyarakat dengan membuat sebuah konsensus yang disebut mitsaq madinah yang intinya berupa kesepakatan di antara beragam kelompok agama dan kabilah untuk hidup bersama dan saling melindungi kebebasan menjalankan hukum dan tradisi masing-masing.

Pada tahap inilah, Rasul menata masyarakat beriman dengan tatanan dan hukum yang diturunkan dari pemahamannya atas wahyu Al-Qur’an. Seruan Islam yang ditolak di Mekkah memperoleh tempat yang subur untuk diterapkan dalam masyarakat (ummat) yang merdeka dari intimidasi. Prinsip-prinsip wahyu Makki ditampilkan dalam Sunnah (tradisi aktual) yang ditampilkan Nabi dan masyarakat Medinah seturut basis nyata sejarah dan kebudayaan yang ada dalam pertahapan yang realistis.

Hukum-hukum masyarakat kota (negara) secara lebih rinci disusun dan dikembangkan di Medinah, dan sebagaimana organisasi masyarakat baru, diperlukan konsolidasi dan pelampiran identitas komunal yang tegas untuk menghadapi kelompok luar yang mengancam dalam sebuah dokrin jihad sebagai sikap dan tindakan mulia untuk melindungi sistem baru masyarakat beriman atas nama Tuhan (jihad fi sabilillah).

Jelaslah, periode ini adalah periode historis Islam dalam pengertian sebagai situasi dan ruang bagaimana pesan universal dari pembebasan dan penghormatan martabat manusia yang ditegaskan pada wahyu Makki memperoleh wujud aktual dalam sejarah manusia sejalan dengan kesanggupan internal yang melekat dalam sisitem kebudayaan dan intelektual masyarakat waktu itu.

Pada cermatan penulis, periode ini telah dijadikan parameter utama generasi selanjutnya dalam mengukur keabsahan pendekatan mereka atas wahyu Al-Qur’an yang dengan menarik secara sembrono aspek ajaran dan tradisi kultural dalam doktrin mengikuti al-salaf al-shalih sebagai satu idiologi bebas kritik. Dari sinilah pula terjadi perdebatan otentisitas Islam yang nyaris saling bersilang.

 

Pelapisan Ideologis dalam Sejarah atas Pesan Praxis Agama

Semerta setelah wafatnya Nabi terjadi pertikaian politis yang efeknya berlangsung sampai sekarang. Masyarakat beriman tumbuh berkembang menjadi satuan masyarakat politis di bawah kepemimpinan para Khalifah (pengganti Nabi). Praktek mereka dianggap sunnah (tradisi) Islam paling otentik yang diyakini memperoleh sandaran kuat dari tradisi sang Nabi.9

Pasca empat Khalifah terpercaya, masyarakat muslim tumbuh dan berkembang dalam pertaruhan agama negara di bawah dinasti-dinasti yang mengklaim memiliki legitimasi kharismatis dari lingkaran keluarga kenabian secara langsung atau tidak (Syi’ah dan Sunni) dalam waktu sangat panjang (sampai penutupan resmi Khilafah Utsmaniyah tahun 1924-an). Pesan Islam mengalami kristalisasi dalam doktrin-doktrin yang diidiologikan dalam pertaruhan kuasa-negara.

Dalam pertaruhan negara itulah wahyu Islam tumbuh dan berkembang dalam pelembagaan keilmuan Islam yang sangat akademis dengan orientasi kalam skolastis dan hukum (Fiqh) yang sangat formatif. dengan diawali oleh Ibnu Idris Al-Syafi’i (abad ke-2 H) yang mereduksi metode ijtihad ke dalam qiyas dan dibakukan oleh ijma. Meskipun terdapat beberapa pendekatan lain, akan tetapi secara umum direntang oleh efistime qiyas dan ijma`. Madhab hukum Andalusia yang dikukuhkan Ibnu Hazm selama beberapa abad ditolak sebagai bagian mainstraim Sunni, meskipun terbukti kemudian pandangan-pandangan sempalan dzahiriyah memiliki relevansi kuat dalam arus libertian masyarakat modern terutama yang terkait dengan hak-hak perempuan.

Hal perlu pencermatan, tradisi fiqh dan kalam skolastis sesungguhnya sangat memberi cetak biru pandangan dunia (Weltanschauung) masyarakat muslim dalam mengukur otentisitas kebenaran Islam, 10 padahal kedua tradisi ini dicurigai memiliki muatan Ideologi kekuasaan dalam pertaruhan-pertaruhan rumit wacana pemikiran Islam di abad pertengahan Islam yang kemudian dinyatakan tertutup di penghujung abad IV H/ X M.11

Secara khusus, dalam perkembangan mutakhir sekarang, hukum Islam dengan segenap turunan tafsirannya telah menjadi isu paling kuat dalam mengukur keabsahan kesetiaan individu maupun kelompok muslim atas syari’ah dengan melupakan kenyataan sesungguhnya dari temporitas hukum dalam sejarah, lebih jauh lagi pada pembacaan adanya penarikan semena konstruksi fiqh Islam dari lingkaran wahyu madani yang pada dasarnya lebih merupakan respon spesifik agama dalam sejarah dalam penerapan prinsip-prinsip wahyu Makki. Dalam banyak kasus kontemporer, Islam sebagai ‘pesan keagamaan’ telah lebih dipahami dalam identitas lembaga agama dalam katagori-katagori hukum dan kalam skolastik yang dalam banyak hal diturunkan dari pengalaman ‘Islam’ sebagai relasi kuasa negara, dan kontruksi pemikiran Islam yang ditarik dari lingkaran wahyu madani yang temporal.12

Problem inilah, dalam prakiraan Penulis, yang menyebabkan lapisan-lapisan simbolistik dari lembaga-lembaga agama jadi menjadi lebih dominan dibanding pesan essensial agama itu sendiri. Faktor inilah, dalam dugaan penulis, yang melatari kemunculan efisteme dalam tradisi ushul fiqh mutakhir yang dipelopori Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, Najmuddin Al-Thufi, Izzuddin bin Abd. Al-Salam, Ibnu Ishaq Al-Syatibi, dan paling Mutakhir Muhammad Syahrur yang menggariskan sebuah pendekatan baru dalam hukum yang lebih etis-pragmatis dengan mengedepankan nilai-nilai dari tujuan syari’ah.

Menarik untuk dicermati pandangan Muhammad Syahrur yang menyatakan bahwa ‘islam’ secara substantif adalah identitas yang dapat disandang seluruh agama yang meneguh-asaskan keberadaan Tuhan, keyakinan atas ihwal eskatologis (akhirat), dan komitmen yang kuat untuk menjalan amal shalih.13 Dalam ranah ini, risalah Muhammadiyah ditegakkan sebagai saksi dan penguji (muhaiminah) atas kebenaran wahyu Allah yang diberikan kepada umat manusia yang terlampir dalam banyak agama dunia, bukan untuk menolak dan meniadakan keberadaan mereka.

Seorang muslim pada akhirnya, bukan sekedar istilah yang dilampirkan kepada seseorang karena lahir dalam suatu komunitas yang mendaku penganut ‘agama islam’ tetapi dia yang menerima dan sanggup menjalankan prinsip-prinsip universal kemanusiaan islam dalam pengertian yang sesungguhnya sebagaimana menjadi nilai dasar dari misi seluruh nabi.

Khatimah

Berdasarkan pemaparan di atas, diperlukan keberanian untuk membuka lapisan-lapisan yang mengurung identitas agama dalam ruang sejarah dan sosial yang sangat rumit. Setidaknya diawali oleh pemahaman atas peran kerasulan Muhammad S.A.W. sebagai pengukuh-asas-an atas kontinuitas pesan pembebasan yang dibawa oleh segenap agama langit, sehingga Islam dalam pengertian sesungguhnya dipandang sebagai agama kemanusiaan (the region of humanity) yang terbuka. Penganut Islam seyogyanya menjadi tokoh dalam barisan terdepan dalam dunia yang terbuka pada perjuangan pembebasan yang ditegakkan kepada penerimaan atas inklusifitas kebenaran serta pengakuan pluralitas atas adanya kemajemukan pandangan manusia dalam memahami kebenaran ilahiyah.

Term ” Islam ” bukanlah term simbolik melainkan sikap aktif dalam sejarah kemanusiaan, berjuang bersama umat manusia dunia memperjuangkan kemerdekaan dari penindasan, ketidakadilan, dan pencapaian martabat luhur. Kerasulan dan kenabian pada intinya merupakan kehadiran Tuhan di muka bumi dalam membebaskan manusia dalam pengertian yang sesungguhnya. Terpatlah apa yang dinyatakan DR. Nasr Hamied, “seruan Islam pada intinya adalah pengukuh-asasan nalar dalam lapangan pemikiran dan pengukuh-asasan keadilan dalam kehidupan masyarakat”.

 

 

——–slm———

1Disampaikan dalam acara Ta`aruf Mahasiswa baru yang diselenggarakan KBMI IAIN SGD Bandung pada Senin 29 Agustus 2005.

2 Mohamad Arkoun seorang cendikiawan muslim modern kelahiran Al-Zajair yang tinggal dan mengajar di Francis, dalam banyak karya-karya ia menawarkan suatu pendekatan baru atas studi Islam yang lebih bebas dari idiologi yang melekat pada corpus-corpus muslim dalam ragam disiplin, sehingga dapat ditemukan otentisitas Islam yang benar-benar terbuka dengan nilai-nilai praxis aktual. (lih. Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Zaman Baru, INIS: Jakarta, 1996)

3

 Farid Esack melalui elaborasinya yang cukup mendalam berdasarkan pengalaman panjangnya dalam menentang Apartheid di Afrika Selatan menampakan pandangan-pandangan libertian tentang wacana Pembebasan dalam Al-Qur`an dalam tesisnya ” Qur`an Liberation and Pluralisman Islamic Persefective of Intereligius Solidarity against Oppression “. Pendekatan yang hampir serupa tetapi cenderung mitis penulis temukan dalam karya Mahmoud Mohamed Toha dalam “The Second Message of Islam” yang diterbitkan Syracuse University Press (1983).

4

 Mahmoud Toha menyebut wahyu Makki sebagai pesan kedua. Seruan utamanya adalah al-Islam dalam pengertian kepasrahan manusia atas Tuhan sebagai misi umum keNabian. Dalam pesan kedua, Islam ditampilkan dalam identitas universal yang dalam tataran ideal merupakan arah dari sistem etik global modern saat ini.

5

 Sebagai mufassir menafsirkan sab`u al-matsani ( tujuh ayat yang dibaca berulang ) sebagai tujuh cerita penyelamatan prophetik, yakni kisah Nabi Musa, Nuh, Ibrahim, Ad, Tsamud, Luth, bukan nama lain surat Al-Fatihah. Ketujuh kisah tersebut dianggap sangat penting karena memberikan gambaran dasar peran keNabian di masa lampau yang menjadi teladan dasar bagi ketahanan dakwah serupa yang diemban Nabi Muhammad S.A.W.

6 wewenang, meminjam istilah Arkoun, sebagai “keterikatan semerta seorang individu atau suatu kelompok pada kata-kata dan tingkahlaku seorang individu lain yang membawahkan dirinya sendiri terhadap tujuan-tujuan mereka yang mengikutinya”. Wewenang tidak mempersyaratkan persatuan, penaklukan, ketertundukan maupun pemberontakan.

7 sangatlah sulit dimengerti pandangan yang menempatkan prasyarat keislaman individu pada keterikatan formal negara dalam struktur hirarkies kekuasaan agama seperti yang diserukan oleh beberapa kalangan sementara ini.

8Lebih luas dapat dibaca dalam Mahmoud Thoha, The Second Message, The Syracuse Iniversity Press, 1983.

9 madzhab-madzhab hukum Sunni paling awal ( Malikiyah dan Hanafiyah) sangat mempercayai tradisi kolektif masyarakat muslim awal sampai era Tabi’in sebagi otoritatif diatas keabsahan hadits-hadits personal (ahad), samapai ketika Ibnu Idris Al-Syafi’i membongkar paradigma efistimologi Fiqh dengan menempatkan hadits ahad diatas sunnah masyarakat yang tidak lagi dipercaya dapat melindungi otentisitas kebenaran Islam karena fitnah yang hebat melandakaum muslimin

10 bahkan DR Abid al-Jabiri menyebut peradaban Islam sebagai peradaban fiqh sebagai mana Yunani dikenal dengan peradaban filsafatnya. Masyarakat muslim dalam keseluruhan kompleksitas peradaban ditentukan oleh hubungan relasional nilai normatif syari’ah yang diturunkan dalam fiqh. Seringkali ukuran kebenaran syari’ah diikat oleh anggitan-anggitan fiqh dengan seluruh variannya.

11 Idiologi-idiologi yang berkembang dalam sebuah struktur kebudayaan masyarakat muslim abad pertengahan berikut berbagai pertaruhan politik ekonomi dan sosial berpengaruh sangat kuat terhadap beragam tafsir ajaran dalam Al-Qur`an yang kemudian diturunkan dalam turats Islam. (lihat dalam DR Nasr Hamid Abu Zaid, Naq Khitab al-Dieny, Sina: Kairo, t.th. )

12 lih. Abdullah Ahmad al-Naim, Dekonstruksi Syari`ah : Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, pen. Ahmad Suaedi, Cet. I, Pustaka Pelajar : Yogyakarta

13 lebih luas dapat dibaca dalam DR Muhammad Syahrur, Iman dan Islam: Aturan-aturan Pokok (penerjemah Zaid Su`di), Jendela: Yogyakarta, 2002, hlm 13 dst

6 Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. Hati-Hati.

    Waduh, saya salah ya, hati-hatinya di sebelah mana ya?

  2. Penafsiran agama sebagai pembebasan sejatinya memang perlu disemangati di kancah global ini. Sementara itu, nilai2 ini akan berbenturan dengan wacana Islam “is the best”. Lagi-lagi ketawadluan yang perlu kita pupuk jika menghadapi masyrakat sekitarnya. Sementara wacana keilmuan, maka memang seharusnya Islam memberi ruang yang luas bagi segenap aspek kehidupan keduniawian… untuk bisa berkiprah sebanyak mungkin… relasi dengan dengan berbagai komponen dengan sendirinya akan terbangun..

    loh komentarnya ngaco gak papa yaa.. 🙂

  3. Kayaknya menarik?

  4. sedikit pemikiran dari kami di semarang

    METODE MEMPELAJARI AL QUR’AN
    Oleh : Suprayitno

    Dibawah ini saya akan membantu bagaimana metode yang sistematik untuk mempelajari Al Qur’an. Sebagaimana kita ketahui bahwa Al Qur’an yang terdiri 114 surat itu dibagi menjadi 30 juz (bagian). Ayat-ayat yang terdapat di dalamnya merupakan kumpulan dari wahyu-wahyu Tuhan yang turun secara periodik dan masing-masing ayat memiliki latar belakang penurunannya (asbaabun nuzuul).
    Secara garis besar, tempat turunnya wahyu dibagi menjadi dua, yaitu yang turun di Mekkah (disebut golongan surat Makkiyyah) dan yang turun di Madinah (disebut golongan surat Madaniyyah). Dari dua tempat asal turunnya wahyu tersebut, apakah terdapat perbedaan karakter yang menonjol antara tipe wahyu yang turun di Mekkah dan tipe wahyu yang turun di Madinah? Jika ada, mengapa terjadi perbedaan? Dan sejak kapan pergeseran tipe wahyu itu dumulai? Langkah-langkah sistematik berikut ini akan mencoba memberikan jawaban.
    Mempelajari Al Quran adalah mempelajari “rentang sejarah” perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah sampai ke Madinah. Dari saat-saat awal masa kenabian yang penuh dengan kesulitan, hinaan dan ancaman sampai dengan saat-saat puncak kekuasaan. Tipe wahyu pasti ada bedanya antara periode infant community (masa-masa merangkak atau masa-masa sulit) dengan masa-masa puncak kekuasaan.
    Apa bedanya dan mengapa beda? Pertanyaan ini akan terjawab dengan “gamblang” apabila kita mau mempelajari Al Quran dengan cara sistematik dan kronologik dengan pendekatan mental kultural dan politik.

    1. Pertama-tama kita harus mengetahui lebih dulu bahwa sistem penyusunan surat-surat yang ada di dalam Al Qur’an sesungguhnya tidak berurutan atau tidak tersusun secara kronologis. Jadi Al Quran yang ada dihadapan Anda sekarang ini, adalah merupakan kumpulan catatan-catatan (wahyu) yang tidak tersusun secara urut berdasarkan periodesasi.
    2. Tugas kita pertama-tama adalah “menguraikan” agar keseluruhan surat-surat di dalam Al Qur’an dapat kita rekonstruksi kembali menjadi bagian-bagian yang tersusun secara kronologis berdasarkan “urutan penerimaan wahyu.”
    Pertama kita harus memulainya dari surat Al’Alaq karena surat inilah yang pertama kali turun. Lihat surat pertama ini di dalam Al Qur’an justru ditempatkan pada urutan ke 96 atau surat ke 96. Padahal, surat pertama atau ke satu dalam penyusunan Al Quran yang standar adalah dimulai dengan Al Faatihah (pembukaan), kemudian surat yang ke 2 Al Baqarah, yang ke 3 surat Ali ‘Imran dan seterusnya. Penysunan demikian jelas tidak sesuai dengan urutan yang semestinya.

    Dari permulaan ini kita dituntut untuk dapat menelaah secara kritis dan analitis siapa yang menyusun dan mengapa susunan surat-surat Al Qur’an dibuat jungkir balik tidak karuan? Atas dasar apakah sebenarnya penyusunan Al Qur’an? Mengapa Al Qur’an tidak disusun secara kronologis berdasarkan urutan penerimaan wahyu? Kapan Al Qur’an mulai disusun seperti bentuknya yang sekarang? Kalau pada akhirnya Al Qur’an harus dibukukan, mengapa Al Qur’an tidak disusun pada saat Nabi Muhammad masih hidup? Berapa lama jarak waktu antara wafatnya Nabi Muhammad dengan disusunnya Al Qur’an?
    3. Surat-surat dalam Al Qur’an semua ada 114 surat, terdiri dari :
    Surat periode Makkiyyah/turun di Mekkah = 86 surat
    Surat periode Madaniyyah/turun di Madinah = 28 surat
    Total semua surat = 114 surat

    Tentang pembagian atau pengelompokan surat-surat ini sampai sekarang masih terdapat perbedaan pendapat antar para ahli tafsir Al Qur’an, meskipun demikian satu hal yang jelas bahwa surat-surat yang turun di Mekkah (periode Makkiyyah) jumlahnya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan surat-surat yang turun di Madinah (periode Madaniyyah).
    4. Kalau kita akan mempelajari Al Qur’an harus dimulai dari periode Mekkah. Mengapa? Karena di kota Mekkah itulah sejarah lahirnya Al Qur’an dimulai, disamping itu juga untuk menghindari penafsiran-penafsiran yang sifatnya parsial (memihak atau berat sebelah), sebab kita tidak bisa mengambil ayat secara sepotong-sepotong tanpa mengerti jalan ceritanya atau sebab turunnya wahyu.
    Karakteristik wahyu sangat berbeda antara wahyu periode Makkiyyah dengan karakteristik wahyu periode Madaniyyah, terutama tipe-tipe wahyu setelah umat Islam memenangkan pertempuran di Badr (perang Badr Maret 624 M). Al Qur’an harus dipahami secara kronologis-sistematis dari ayat pertama kali turun sampai dengan ayat penghabisan, dengan cara seperti ini kita akan mendapat gambaran yang utuh tentang pesan Al Qur’an (anatomi Al Qur’an). Ibarat sebuah pohon, harus kita kenali dan kita telusuri dari sejak biji tanaman, cara tumbuh, akar, batang, daun, buah, sampai ujung rantingnya.
    Sekadar gambaran untuk membedakan tipe atau karakteristik wahyu, marilah kita bandingkan antara surat-surat yang turun di Mekkah seperti surat-surat sebagai berikut QS6:56-58,68-71,108; QS41:34 ; QS23:96; QS17:53 ; QS17:107; QS18:29; QS109: 1-6; QS16: 125 QS10: 99-100 ; QS29: 46 QS7 : 180 ; QS45:14 .
    Catatan: untuk surat 109 (Al Kaafiruun = Orang-orang kafir) ayat 1 sampai 6, sungguh sangat bijaksana dan moderat karena tidak ada satu pun kata-kata yang mengandung ancaman atau merendahkan martabat orang-orang kafir. Antara penganut kafir dan orang yang beragama ditempatkan “sejajar” , tidak ada yang lebih hebat diantara keduanya (Lakum dinukum wa liya din = Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku). Tetapi jika kita akan menggali hubungan antara “orang yang beragama dan orang kafir” berdasarkan Al Qur’an, tidak bisa hanya menggunakan refrensi dari surat 109 ayat 1 s/d 6 yang tampak sangat bijaksana ini saja, namun periksa jugalah keseluruhan ayat yang mengandung hubungan “orang beragama dan orang kafir.” Bagaimana kesimpulannya? Ayat yang tampak sangat bijaksana tersebut akan terhapus atau “gugur” dengan ayat-ayat tentang kafir pada periode sesudahnya.
    Al Qur’an akhirnya menempatkan golongan kafir sebagai orang-orang yang sangat hina, orang yang jahat, sangat dibenci dan harus dibasmi, dan kelak bila mati harus dipanggang diatas bara api neraka yang membara.
    Saya berikan contoh 2 (dua) ayat dari surat Al Baqarah yaitu ayat 161 dan 162 (ayat ini turun di Madinah). Ayat 161 berbunyi : Innal-lazina kafaru wa matu wa humkuffarun ulaika ‘alaihim la’natullahi walmalaikati wan-nasi ajma’in (Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya). Ayat 162 berbunyi: khalidina fiha la yukhaffafu ‘anhumul’azabu wa la hum yunzarun ( mereka kekal di dalam laknat itu, tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak pula mereka diberi tangguh). Yang lebih “seram” hukuman bagi orang-orang kafir tentu masih banyak yang dapat kita jumpai. Oleh karena itu dalam mengambil refrensi dari Al Quran mengenai suatu masalah tidak bisa secara sepotong-sepotong. Kalau kita akan mengambil topik “kafir” harus dikumpulkan semua ayat yang membahas tentang kafir baik dari periode Makkiyah maupun Madaniyyah.
    Dari surat-surat periode Mekkah tersebut di atas marilah kita bandingkan dengan tipe wahyu Madaniyyah seperti pada : QS59: 2-4; QS4 : 89 ; QS8 :12 QS33 : 60-62 dan tentu masih banyak lagi ayat-ayat periode Madinah yang keras.
    Apa yang dapat kita analisis dari perbedaan karakteristik wahyu ini? Adalah fakta bahwa sejarah wahyu (Al Qur’an) tidak terlepas dari kekuatan politik, artinya ketika kedudukan Muhammad di Mekkah masih lemah karena belum mempunyai basis pendukung massa yang kuat (infant community), maka dengan sendirinya surat-surat atau wahyu periode Mekkah pun pada umumnya lebih moderat jika dibandingkan wahyu periode Madaniyyah. Kalau pun terdapat ancaman pada umumnya lebih bersifat tekanan psikologis yang selalu dikaitkan dengan ancaman Allah dan penyiksaan di neraka atau alam kubur.

    Komposisi ayat-ayat periode Mekkah yang sangat menonjol adalah tentang :
    1. Penggambaran siksa di neraka
    2. Penggambaran siksa di alam kubur
    3. Berita tentang akan datangnya hari kiamat
    4. Perumpamaan kejadian alam yang dihubungkan dengan
    sang pencipta alam (Allah)
    5. Penggambaran keindahan surga
    6. Cerita tentang riwayat nabi-nabi masa lalu
    7. Ajakan untuk bertobat dan menyembah serta memuji kepada Allah yang maha esa dan
    8. Kebencian terhadap syetan
    Setiap surat yang turun di Mekkah kebanyakan memuat salah satu atau lebih dari ke tujuh unsur di atas. Namun, sejak Muhammad hijrah ke Madinah dan ketika kedudukannya sudah mulai bisa diterima secara luas, maka tipe wahyunya sedikit demi sedikit mulai ada pergeseran yaitu banyak ayat yang lebih keras dan represif, hampir semua produk hukum dihasilkan di Madinah.
    Kalau di Mekkah hanya tekanan psikologis maka di Madinah sudah bergeser menjadi ancaman fisik yang lebih nyata dan mengikat.
    Mengapa bisa demikian? Ada yang menjawab “itu merupakan bukti kearifan Allah, atau semua memang kehendak Allah” Haruskah jawabannya demikian? Tidak bisakah kita menggunakan logika politik (aspek sosiologis) untuk menjawabnya? Bisakah kita mengabaikan dukungan massa terhadap proses terjadinya wahyu? Artinya ketika dukungan dari massa masih lemah (sedikit) dengan sendirinya ayat-ayat yang turun masih moderat dan sifatnya hanya persuasive. Contoh, minuman keras (khamar) pada Islam periode Makkiyah tidak dilarang karena basis pendukung Muhammad masih lemah dan setelah dukungan massa makin kuat di Madinah baru pelarangan atau hukum kharam terhadap minuman keras (khamar) ini dikeluarkan. Di sinilah justru kita bisa berpendapat bahwa “wahyu” sebenarnya merupakan produk dari kecanggihan pemikiran manusia (Muhammad) yang penuh dengan perhitungan sosial-politis dan psikologi massa.
    Jika jawaban ini tidak bisa diterima oleh para ulama dan ahli agama, tentu kita bisa mengajukan pertanyaan, apakah “wahyu” adalah sebuah terminologi yang sama sekali bebas dari campur tangan pemikiran manusia (Muhammad)?
    Logikanya “hanya orang kuat atau institusi yang kuatlah yang dapat mengeluarkan produk hukum atau undang-undang”.
    Sama dengan posisi Muhammad. Pada saat perjuangannya di Mekkah masih belum mendapat dukungan massa yang solid, mungkinkah seorang Muhammad bisa mengeluarkan undang-undang atau hukum yang katanya berasal dari “wahyu”? Kalau pun Tuhan bisa mengeluarkan instruksi (wahyu), apakah tidak ditertawakan oleh masyarakat, lagi pula siapa yang mau patuh dan melaksanakan? Paling banter wahyu yang diterima pun sekadar “imbauan untuk jalan yang lurus dan bagi-bagi rejeki untuk kaum fakir miskin (berzakat) dan menyantuni anak yatim”. Mengapa untuk “pesan sosial” ini mesti harus Tuhan yang berbicara melalui “wahyu?”
    Tidak bisakah seorang Muhammad berbicara atas nama dan atas pikirannya sendiri? Lantas bagaimana sebenaranya kapasitas pemikiran (visi dan misi) pribadi Muhammad tentang “kemanusiaan/humanisme” jika segala-galanya harus berproses melalui wahyu? Dari semua yang diucapkan oleh Muhammad, hanya Muhammadlah yang berhak membagi-bagi mana yang wahyu mana yang bukan wahyu. Tidak ada orang lain yang bisa ikut mengontrol pemikiran Muhammad. Dalam hal wahyu atau bukan, Muhammad adalah sosok tunggal kebenaran itu sendiri.
    Jika semua serba Tuhan, bodoh atau pintarkah sebenarnya Muhammad itu? Lantas bagaimana cara membedakan wahyu dan kreatifitas atau produk pemikiran dari sosok Muhammad? Proses pewahyuan ini sama sekali tidak ada checks and balances dari pihak lain. Pokoknya kalau Muhammad bilang “ini wahyu” umatnya harus percaya sebab kalau tidak percaya berarti termasuk kedalam golongan orang kafir. Semudah dan sesederhana itu seorang Muhammad memberi pilihan hidup. Wahyu seakan-akan menjadi produk yang tidak bisa disentuh oleh akal, wahyu harus diterima melalui “iman” dan Muhammad adalah pemegang tunggal kebenaran atas nama Tuhan.
    Mari kita pelajari seluruh ayat-ayat periode Makkiyyah, semua ayat yang berhubungan dengan sesama atau hubungan dengan Tuhan selalu disampaikan dengan cara persuasif tanpa ancaman fisik secara langsung, paling ancamannya kemurkaan dari Allah atau siksa api neraka atau siksa di dalam kubur.
    Apakah fakta-fakta ini tidak cukup untuk mengatakan bahwa “tidak ada wahyu dari Tuhan, yang ada hanyalah proses pikir yang sangat kreatif dan futuristik dalam strategi pemenangan politik dengan menghandel nama Tuhan.”

    PENDUKUNG LAIN UNTUK BISA MEMAHAMI AL QUR’AN

    1. Pengetahuan tentang bahasa Arab, termasuk di dalamnya sastra Arab klasik, karena seperti kita ketahui bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan bahasa Al Qur’an adalah bahasa “puitis” yang bisa menghadirkan ragam tafsir.
    2. Lintas sejarah Arab pra Islam, yaitu pra kondisi sebelum Islam lahir. Tanpa kita tahu sejarah Arab pra Islam maka mustahil kita akan bisa memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang “asbaabun nuzuul” (sebab-sebab turunnya wahyu). Lintas sejarah Arab meliputi kajian ilmu arkeologi, antropologi, dan sosiologi bangsa Arab. Disiplin ilmu ini akan mengantarkan kita pada pemahaman yang menyeluruh tentang struktur budaya bangsa Arab, termasuk di dalamnya tentang kehidupan sosial-religius, politik, ekonomi, dan pendidikan. Intinya kita akan membedah melalui berbagai pintu tentang siapa sebenarnya bangsa Arab itu? Pengetahuan tentang sejarah bangsa Arab pra Islam setidaknya juga akan memberikan jawaban tentang mengapa seorang Muhammad tergerak untuk berjuang membebaskan rakyat Arab dari belenggu kebodohan dan penindasan (perbudakan), lihat surat Al Balad (QS90) ayat 11 s/d 16.
    Kita perlu tahu sejauh mana sebetulnya pengertian “zaman jahiliyah” yang melanda bangsa Arab pada saat itu? Apakah benar-benar telah terjadi kerusakan moral yang parah? Separah apakah sehingga seorang Muhammad terpanggil untuk memperbaikinya?
    Pengetahuan sejarah pra Islam juga akan melacak tentang apa motivasi perjuangan seorang Muhammad, mengapa Muhammad memilih jalan keluar untuk mengatasi krisis (kemanusiaan??) ini melalui jalur sosial-religius (theokratisme)? Mengapa tidak menggunakan jalur sekularisme (demokrasi)? Apakah model gerakan sekularisme atau demokrasi pada saat itu belum dikenal khususnya pada peradaban politik bangsa Arab? Apakah pada saat itu basis gerakan sosial hanya mengenal penyelesaian melalui jalur theologis dan aristokratis? Jika jawabannya betul, pantas saja Muhammad secara intens menggandeng Tuhan dan malaikat (Jibril) untuk menemani perjuangannya, dan Muhammad bisa berkata apa pun dengan mengatas namakan Tuhan.
    Masyarakat pada saat itu (dan sampai sekarang pun) boleh percaya boleh tidak terhadap apa yang diklaim oleh Muhammad sebagai wahyu Tuhan. Bagi yang tidak percaya dimasukkan dalam golongan kaum kafir, kafir berarti menjadi musuh Tuhan dan manusia (dari kelompok nabi). Muhammad jelas telah berhasil menciptakan conditioning (suasana) agar seolah-olah perjuangannya mendapat legitimasi dan di backup dari langit (Tuhan) supaya motivasi perjuangannya seolah-olah tampak sakral, bersih, mistis dan suci. Akhirnya Muhammad menggunakan“bahasa Nabi” yaitu bahasa wahyu sebagai bahasa pengantar perjuangan politiknya. Di sinilah Muhammad benar-benar sangat cerdas dalam menguasai dan mengelola psikologi massa. Massa ternyata mudah dikuasai dan dikendalikan dengan pendekatan wahyu Tuhan. Dengan wahyu Tuhan, ternyata Muhammad lebih mudah mengatur umatnya, sebab wahyu pasti tidak bisa diprotes. Bahkan bagi yang benar-benar percaya, Al Qur’an menjadi harga mati yang harus diperjuangkan dengan mengorbankan harta benda dan nyawa sekalipun.
    3. Memahami Al Qur’an akan sangat terbantu dengan menggunakan Indek Al Qur’an. Indek Al Qur’an gunanya untuk mempermudah penelusuran tentang tema-tema tertentu yang akan kita butuhkan. Contoh jika kita akan mencari topik tentang kafir, maka cari saja pada “indek kafir” disana akan ditunjukkan ayat mana saja yang berhubungan dengan kafir. Kemudian setelah kita kumpulkan seluruh ayat mengenai kafir, tugas selanjutnya kita susun berdasarkan urutan penerimaan wahyu. Nanti pasti akan bisa diketahui bahwa ternyata “wahyu” tentang kafir memiliki nuansa yang berbeda antara periode infant community dengan periode saat kedudukan Muhammad sudah semakin kuat. Kesimpulan saya, wahyu hanyalah target politik yang menggunakan Tuhan sebagai alasan pembenaran.
    Catatan lain:
    Untuk menelusuri tentang “asbaabun nuzuul” salah satunya bisa menggunakan refrensi dari hadist tetapi marilah kita pelajari “sejarah hadist” yang penuh dengan berbagai pertikaian dan kepentingan itu. Oleh karenanya saya mengabaikan peran sunnah/hadist sebagi refrensi, sebab perjalanan sunnah atau hadist memiliki celah yang luar biasa untuk dimanipulasi demi kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Lagi pula hadist ditulis jauh setelah nabi Muhammad meninggal dunia sehingga sangat sulit untuk memastikan kebenarannya.

    SEKILAS PERKEMBANGAN ISLAM SETELAH WAFATNYA NABI MUHAMMAD

    Sebagaimana kita ketahui bahwa sepeninggal Nabi Muhammad yaitu beliau wafat pada tanggal 08 Juni 632 M, masyarakat muslim yang baru lahir itu dihadapkan pada sesuatu yang berujud “krisis konstitusional.”
    Karena nabi tidak mewariskan ketetapan undang-undang pelaksanaan (constitution) bahkan tidak juga menciptakan suatu dewan (council) dalam jalinan majelis kesukuan yang mungkin dibutuhkan selama dalam periode transisional yang genting (darurat).
    Keunikan dan karakter kewibawaan yang eksklusif, yang beliau anggap sebagai eksponen kemauan Tuhan, telah menjadikan nabi Muhammad sebagai figur sentral terhadap seluruh proses pemerintahan dan dalam komunitas sosial. Hal ini menyebabkan Nabi Muhammad sama sekali tidak mempersiapkan calon-calon pengganti terpilih sepanjang hidupnya.
    Konsepsi penggantian pimpinan pemerintahan saat itu tidak dikenal oleh orang-orang Arab. Tetapi krisis konstitusi telah mempertemukan adanya tindakan tegas dari tiga orang yaitu Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah, hingga akhirnya tercapailah kesepakatan bahwa Khalifah Rasulullah pertama sesudah wafatnya nabi adalah jatuh pada Abu Bakar.
    Masa khalifah Abu Bakar kurang lebih selama dua tahun, beliau wafat pada tanggal 23 Jumadil Akhir tahun ke 13 Hijri, tetapi sebelum wafat beliau telah mewasiatkan khilafah kepada Umar bin Khaththab.

    MASA KEPEMIMPINAN UMAR (634-644M)
    Ciri yang sangat menonjol pada masa pemerintahan Umar adalah beliau sangat konsisten terhadap penegakan hukum, anti korupsi, kolusi dan nepotisme (anti KKN) serta menerapkan sistem pajak (zakat) yang progresif.
    Tetapi karena sifatnya yang sangat tegas dalam berbagai bidang inilah akhirnya pada tanggal 4 Nopember 644 M, Umar dibunuh oleh budak Persia seorang Majusi bernama Abdul Mughirah yang biasa dipanggil Lu’lu’ah. Alasan pembunuhannya karena Abdul Mughirah merasa terlalu berat dengan kharaj (pajak) yang dibebankan kepadanya.
    Pada saat yang sangat kritis ini, karena pada saat Umar ditebas pedang, beliau tidak langsung tewas dan sempat membentuk sebuah team dari para sahabat yang dinamakan “ahlisyura” (majelis syuraa sama dengan majelis permusyawaratan/badan legislatif). Anggota team tersebut terdiri dari 6 orang masing-masing bernama Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdur Rahman bin Auf. Hal ini merupakan terobosan baru dalam budaya politik bangsa Arab, karena Umar merupakan orang pertama yang membentuk team guna merumuskan alih kekuasaan (suksesi kepemimpinan).
    Proses pemilihan tersebut memang cukup alot sebab akhirnya terbentuk dua kubu yang sama kuat yaitu antara kubu Utsman dan kubu Ali. Setelah melalui negosiasi yang panjang akhirnya majelis syura menetapkan Utsman sebagai pengganti Umar.

    MASA KEPEMIMPINAN UTSMAN (644-656M)
    Masa pemerintahan Utsman penuh diwarnai KKN. Hal pertama yang menyebabkan Utsman dituduh telah melakukan nepotisme adalah pemecatan terhadap gubernur Kufah, Sa’ad bin Abi Waqqash yang digantikan oleh Walid bin Uqbah saudara satu ibu dengan Utsman. Utsman telah mengangkat para kerabatnya dari Banu Umaiyyah untuk menduduki berbagai jabatan.
    Pada pemberontakan tgl 17 Juni 656 M, Utsman terbunuh. Siapa yang telah membunuh Utsman? Sulit dipastikan karena pada saat itu rumah Utsman dalam keadaan dikepung oleh pemberontak dan salah seorang pemberontaknya berhasil menyelinap masuk kedalam rumah yang kemudian menebaskan pedang sehingga khalifah Utsman tewas.
    Pada saat itu yang menjaga rumah Utsman adalah dua orang putra Ali yaitu Hasan dan Husein. Pembunuhan ini merupakan pintu dari mata rantai fitnah yang terus membentang tanpa akhir dan merupakan awal pecahnya perang saudara yang dahsyat dalam Islam. Dalam kasus pembunuhan Utsman sulit dipastikan bagaimana posisi Thalhah, Zubair, Aishah, dan Ali apakah mereka terlibat atau tidak, memprovokasi atau tidak?

    MASA KEPEMIMPINAN ALI (656-661M)
    Setelah Utsman terbunuh, akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Ali, tetapi sepanjang kekuasaannya penuh dengan berbagai masalah. Kekuasaannya sangat rapuh karena dirongrong dari berbagai pihak. Ali harus terus bertempur melawan Mu’awiyah dan golongan Khawarij yaitu golongan oposisi atau pembangkang.
    Mu’awiyah adalah keponakan Utsman yang terus mendesak agar pembunuh Utsman untuk segera dapat ditangkap dan di qishaash (tentang hukum qishaash lihat Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178). Golongan khawarij adalah merupakan kelompok gerakan yang dengan tegas menolak kepemimpinan Ali maupun Mu’awiyah.
    Pada bulan Januari tahun 661 M atau tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijri, seorang dari golongan Khawarij yang bernama Abdur Rahman bin Muljim ada juga yang menyebut Ibnu Muljan telah berhasil membunuh Ali. Inilah awal dari dinasti Umaiyyah, yang nanti selanjutnya pada tahun 680 M, terjadi pembunuhan massal atas pengikut Ali di Karbala, dimana dalam pembunuhan tersebut Husein (putra Ali) juga ikut dibunuh. Dan pada tahun 683 M, sampai dengan tahun 690 M, terjadi lagi perang saudara ke dua.
    Ilustrasi ini sangat penting saya sampaikan agar dapat menjadi pengetahuan bahwa bagi siapa pun yang akan mempelajari hadist hendaknya paham bahwa riwayat hadist sebenarnya penuh dengan karut marut yang diakibatkan oleh perebutan kekuasaan, dan kepentingan kelompok atau golongan.
    Juga harus diketahui bahwa hadist disusun atau dibukukan berpuluh-puluh tahun setelah Nabi Muhammad wafat (mungkin bahkan ratusan tahun?). Ketika Nabi sendiri masih hidup tidak pernah memerintahkan sunnah itu untuk dicatat, apa yang diucapkan dan dilakukan oleh nabi dari waktu kewaktu. Sepanjang pengetahuan saya, nabi tidak pernah memposisikan sunnah itu sebagai hukum ke dua setelah Al Qur’an. Sehingga siapa pun yang ahli hadist atau sunnah pasti sangat sulit memastikan yang “shohih” atau tidak terlepas dari siapa pun perawinya entah itu Aisyah, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abu Bakar, Abu Hurairah, ataupun Ibnu Mas’ud. Dan terlepas dari siapa pun penulis hadist apakah dia Ibnu Majah, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Thirmidzi, atau pun Nasa’i.
    Banyak aliran dan kelompok dalam Islam yang saling menyerang di mana masing-masing mengaku yang paling benar. Kelompok atau golongan tersebut adalah seperti golongan Khawarij, golongan Rafidzah, golongan Mu’tazilah, serta golongan Syi’ah Itsna Asyariah. Masing-masing “bermain” dengan hadist yang menguntungkan kepentingan kelompoknya atu golongannya.
    Setelah Nabi Muhammad wafat, kemudian kepemimpinan Islam dipegang oleh para sahabat, penggunaan sunnah atau hadist nabi sebagai sumber hukum sedikit demi sedikit semakain rancu. Kerancuan ini bukan terletak pada fungsi dari sunnah itu sendiri tetapi lebih karena adanya sejumlah materi sunnah yang dianggap palsu, lemah atau diragukan kebenarannya oleh pihak-pihak lain.
    Sementara satu pihak melakukan tindakan-tindakan yang menurutnya sesuai dengan sunnah nabi, pihak lain menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak sesuai dengan sunnah nabi. Tentu masing-masing memiliki alasan mengapa ia menolak suatu sunnah, sementara pihak lain menerimanya.
    Itulah sekilas sejarah hadist yang sangat rawan dengan “pemalsuan”, lain halnya jika hadist ditulis secara tahap demi tahap ketika Nabi Muhammad masih hidup sehingga jika terjadi pemalsuan bisa langsung disanggah oleh Nabi sendiri. Nah catatan hadist yang ada sekarang ini, siapa yang bisa menjamin kebenarannya bahwa apa yang disampaikan itu betul-betul bersumber dari Nabi Muhammad? Dengan alasan-alasan itulah saya mengabaikan peran hadist terhadap penjelasan asbaabun nuzuul.
    Untuk mencari refrensi asbaabun nuzuul, bisa menggunakan dari para orientalis yang kredibilitas ilmunya terhadap sejarah Islam cukup independen dan obyektif, seperti Ignaz Goldziher dalam bukunya berjudul “Muhammadenische Studien” terbit tahun 1890 M dalam bahasa Jerman.
    Kemudian dari kalangan cendekiawan muslim ada beberapa nama yang cukup berani dalam mengulas hadist yaitu : Dr Taufiq Shidqi seorang berkebangsaan Mesir dalam tulisannya Al Islam Huwa Al Quran Wahdah (Islam hanya menggunakan Al Quran saja), Prof Dr Ahmad Amin dalam tulisannya pada buku Fajr Al Islam dan Dluha Al Islam, dan Dr Ahmad Zaki Syaadi dalam buku Tsaurah Al Islam.
    Refrensi ini saya kutip dari buku GERAKAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA yang ditulis bersama-sama oleh Drs. Abdulaziz, Drs. Imam Tholkhah, Drs.Soetarman penerbit Pustaka Firdaus tahun 1989 pada halaman 148 s/d hal. 151. Metode mempelajari Al Quran dan Hadist seperti yang saya sampaikan di atas mudah-mudahan dapat mengantarkan kita pada pemahaman yang komprehensif atau menyeluruh tentang seluk beluk Islam.
    Jadi kalau kita akan mempelajari Islam, pelajarilah budaya Arab pada saat dan sebelum Islam lahir. Sebab budaya yang ada pada saat itu akhirnya banyak yang terserap didalam Al Qur’an, entah sebagai hukum atau etika sosial.
    Agama dan wahyu tidak pernah lepas dengan Tuhan. Sayangnya, para Nabi atau pemimpin agama tidak pernah memberikan banyak pilihan kepada manusia untuk menelaah tentang apa wahyu itu dan siapa sebenarnya Tuhan itu, mengapa manusia harus percaya terhadap wahyu? Bisakah wahyu dipercaya? Wahyu dan Tuhan adalah “dagangan” yang tidak boleh dicela dan dikrtitik. Kita tidak bisa tawar menawar,Dia harus dibeli atau tidak sama sekali.
    Agama benar-benar telah membebani umat manusia, sehingga umat manusia dicekam oleh ketakutan-ketakutan yang luar biasa terhadap api neraka. Ketakutan itu akhirnya hanya membuat manusia terpenjara. Dalam ruang sempit itulah orang-orang beriman bicara dan berteriak tentang “kebenaran”. Padahal kebenaran yang sesungguhnya tidak bisa diteriakkan dalam ruang sempit yang bernama “penjara rasa takut”. Bila kita ingin menyuarakan kebenaran, maka kebenaran itu membutuhkan tempat yang teramat luas. Apa sih kebenaran itu? Kebenaran hanya mungkin kita peroleh atau kita diskusikan manakala tidak terjadi “penjajahan dan penindasan terhadap pemikiran” antara satu dengan yang lain.

    (Semarang, 29 Mei 1999, suprayitno)

  5. saya jadi tambah binun neh, ada yg menyebut islam tardisionil, abangan, santri, trus islam moderat, liberal dan lain@
    —-kok bisa begitu y?
    bukannya so dari dulu agama islam itu sudah sempurna islam al-kamil, al azmi
    sekarang kok banyak klan (kelompok2 ) yg memproklamirkan saya islam ini, saya islam begini..lah…. 😦

  6. terkesan dengan paparan di atas… pesan pembebasan Islam di awal kelahirannya telah banyak tereduksi oleh pertikaian-pertikaian pada tataran pemahaman-pemahaman seputar fase madani, yang berbahaya kemudian adalah seruan ketuhanan dan kemanusiaan itu terbelenggu dalam teks sejarah dan dikubur dalam-dalam untuk tak lagi bangkit menjadi semangat pembebasan.

    wallahu a’lam


Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.