Catatan Perjalanan 1: Membunuh “Yang Penting Gue!”

April 10, 2008 pukul 3:13 am | Ditulis dalam Agama, Akhlak, Artikel, Celotehan, Cerita, Curhat, Dakwah, Demokrasi, Humor, Islam, Manhaj, Mimpi, Pendidikan, Politik, Renungan, Umum | 50 Komentar

Saya kembali mendapat perintah “aneh”  dari kedua orangtua.  Ini bukan kali pertama saya mendapatkan perintah “aneh” , khususnya dari bapak. Misalnya saja, pada bulan desember tahun 1994 silam, pada saat itu kebetulan tengah digelar muktamar NU ke 29 (kalau tidak salah) di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya. Saya menerima perintah “aneh” dari bapak, dimana saya diharuskan untuk memperhatikan gerak-gerik para kyai NU mulai dari caranya berbicara, berjalan, gaya berpakaian, makan, sikap saat bercengkrama dengan sesama kyai atau orang lain bahkan cara para kyai berbelanja dan menawar barang! 😆 

Hasil dari “pengamatan” tersebut kemudian saya catat dengan rinci; nama kyai, asal daerah, pesantren yang diasuhnya dan lain sebagainya. Tentu saja, catatan tersebut kemudian harus saya serahkan kepada bapak.

Oh iya, kebetulan kyai yang berhasil saya amati pertama kali adalah Gus Dur, dan yang menarik perhatian saya dari beliau adalah sendalnya yang tidak soulmate, alias yang sebelah kanan dan yang kiri beda warna… :mrgreen:

Saudara-saudara, pada postingan catatan perjalanan ini saya tidak bermaksud mengulas soal “keanehan” orangtua saya atau juga “keanehan” sendal Gus Dur. Yang akan saya ceritakan adalah soal latar belakang kenapa saya melakukan perjalanan ke beberapa daerah di Jawa Barat. “halah”.

Lagi-lagi dalam rangka melaksanakan “perintah aneh” bapak. Ya, bapak memerintahkan saya untuk melakukan perjalan ke beberapa daerah terpencil, sekaligus sowan ke pesantren-pesantren di daerah yang kebetulan saya lalui.

Awalnya saya tidak mengerti dengan maksud dan tujuannya. Sewaktu saya tanyakan kepada bapak soal tujuan dan manfaat yang akan saya peroleh dari tugas ini, beliau hanya menjawab pendek, “ambeh silaing bisa diajar hirup ti batur“. (supaya kamu bisa belajar hidup dari orang lain). 😯

sugan ari loba panggih jeung jelema di kampung mah, sifat silaing anu sok kumaha aing bisa leungit“. (mudah-mudahan saja dengan bertemu banyak orang di daerah, sifat kamu yang suka “bagaimana saya saja” bisa hilang). Demikian bapak menambahkan alasan kenapa saya harus “pergi” untuk beberapa bulan.

Ya… Yang penting gue, atau yang penting saya. Saya akui, sikap mementingkan diri sendiri masih mencengkram kuat dalam kepribadian saya. “Yang penting gue” adalah perilaku egois, atau anani dalam bahasa akhlak Islam. Buktinya, saya masih bisa menikmati makanan dengan berbagai macam lauk pauk sambil menonton berita  soal ibu dan anak yang meninggal karena tidak makan selama berhari-hari, juga anak-anak yang menderita gizi buruk. Saya juga masih dengan “senang hati” memakai BBM bersubsidi, dan merasa berat hati dengan rencana pemerintah untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi. 😥 Ya, saya memang sosok manusia egois, yang lebih mementingkan diri sendiri dan tidak mampu berempati dengan orang lain.

Bayangkan kalau saya kebetulan anggota DPR-RI yang membidangi masalah hutan. Mungkin sudah banyak hutan lindung yang saya loloskan dan restui untuk dialihfungsikan. Tentu saja dengan syarat kepala daerah dan atau yang berkepentingan memberi saya sekedar 3 milyar rupiah.

Bayangkan kalau saya adalah jaksa yang menangani kasus BLBI. Bayangkan kalau saya adalah anggota DPR-RI atau gubernur BI… Ya, bayangkan kalau saya yang egois ini adalah pejabat yang memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk melakukan apa saja, “yang penting gue”. :mrgreen:

Kata anani barangkali masih kurang akrab di telinga kita. Namun sebenarnya padanan katanya sendiri teramat sering kita dengar. Dalam kajian ilmu jiwa anani dikenal dengan istilah egoistis, yakni sikap mementingkan diri sendiri. Dalam bahasa Arab, anani atau ananiyah didefinisikan sebagai suatu sikap mementingkan diri sendiri, hanya memikirkan diri sendiri, atau menonjolkan diri serta menghubungkan semua masalah terutama dalam hal kebaikan kepada dirinya sendiri.

Mengutip penjelasan At-Tahanawi  -seorang ahli filsafat dan muhaddis (ahli hadis)- dalam salahsatu kitabnya al-Kasysyaf (Pembuka Tabir), bahwa anani adalah suatu pernyataan mengenai hakikat segala sesuatu yang dihubungkan dengan diri seseorang, seperti pada pernyataan: “Inilah diriku, jiwaku, dan kekuasaanku“. Masih menurut At-Tahanawi, ungkapan seperti ini pada hakikatnya merupakan bentuk dari perbuatan syirik (mempersekutukan Allah) yang tersembunyi. Anani adalah suatu pernyataan yang mengungkapkan keadaaan hakikat dan batin bukan dalam arti yang sesungguhnya. Makna ucapan la ilaaha (Tidak ada Tuhan) sesungguhnya untuk menghilangkan sifat anani yang bersemayam dalam hati manusia.

Ketika jiwa manusia terhinggapi sikap anani atau egoistis, maka hilanglah kemampuan dirinya untuk dapat berempati kepada orang lain. Ia tidak akan mampu menyelami perasaan orang lain atau merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Hatinya akan bebal dengan segala apa yang nampak di hadapannya. Anani akan membentuk seseorang menjadi manusia berkarakter tidak peduli kepada orang lain, dan secara tidak sadar ia telah mengingkari keberadaan orang lain serta menempatkan dirinya sebagai Tuhan kecil.

Sifat anani akan muncul pada saat seseorang terlalu mencintai dirinya sehingga pada akhirnya akan menghilangkan kecintaannya pada orang lain. Hasrat untuk memenuhi kesenangan dan kebutuhan diri sendiri menjadi di atas segala-galanya. Terkadang muncullah anggapan bahwa segala apa yang ada di dunia ini adalah atas peranannya. Orang lain mendapat kebaikan karena upayanya, tidak akan ada kebaikan jika bukan atas jasanya. Kita mungkin pernah mendengar ungkapan, “Andai bukan karena saya, belum tentu dia bisa seperti sekarang.

Seseorang yang terhinggapi penyakit anani akan membuat tolak ukur terhadap segala sesuatu berdasarkan ukuran-ukuran dirinya sendiri. Itu sebabnya anani digolongkan sebagai salah satu sikap budi pekerti yang buruk (akhlak al-madzmumah) dan sangat tercela.

Menurut Imam al-Ghazali (ahli fikih, filsafat dan tasawuf Mazhab Syafi`i), anani terjadi antara lain karena kecantikan, kekayaan, kedudukan tinggi, kepandaian dan jasa yang pernah diberikannya. Orang yang terkena sikap ini kurang menyadari bahwa segala sesuatu yang dimilikinya itu berasal dari Tuhan. Mereka juga kurang menyadari bahwa semua yang dimilikinya itu bersifat sementara dan kelak akan sirna. Imam al-Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa kecantikan atau ketampanan akan segera sirna sejalan dengan pertambahan usia. Demikian pula kedudukan yang dipegangnya juga akan berakhir dengan datangnya waktu yang ditentukan. Ia lebih lanjut menambahkan bahwa sikap anani itu pada hakikatnya sebagai bukti dari kurangnya wawasan dan kesadaran seseorang terhadap sesuatu yang dimilikinya. Kekurangan tersebut kemudian ditutup-tutupinya dengan bersikap egoistis.

Semoga Allah menjaga kita dari sifat tercela ini.

 

Setelah Hiatus Panjang…

April 5, 2008 pukul 2:48 am | Ditulis dalam Agama, Akhlak, Celotehan, Cerita, Curhat, Dakwah, Islam, Kisah Hikmah, Manhaj, Pendidikan, Renungan, Umum | 28 Komentar

Setelah hiatus panjang selama hampir 3 bulan, akhirnya saya berkesempatan kembali untuk bercengkrama dengan blog Aula Hikmah. Banyak pelajaran yang saya peroleh selama hiatus. Dari sekian banyak pelajaran tersebut, yang paling kuat menghujam dalam hati saya adalah mengenai penghargaan terhadap hidup. Betapa selama ini saya ternyata tidak mampu menghargai dengan layak atas apa-apa yang telah Tuhan berikan kepada saya. Insya Allah, oleh-oleh berupa catatan perjalanan akan saya post lebih lanjut.

Saya juga ingin menyampaikan terimakasih atas kunjungan dan komen yang ditinggalkan selama saya hiatus… Salam hormat saya, Ram-Ram Muhammad. 😀

Kelaparan… (H-3 Bertapa)

Januari 23, 2008 pukul 3:15 am | Ditulis dalam Agama, Akhlak, Artikel, Celotehan, Cerita, Cerita Pesantren, Curhat, Dakwah, Humor, Islam, Kisah Hikmah, Manhaj, Mimpi, Pendidikan, Renungan, Umum | 56 Komentar

Selepas menyelesaikan pendidikan dasar di SD al-Ma’arif Bandung, bapak “memaksa” saya untuk masuk Pondok Pesantren Perguruan KHZ. Musthofa Sukahideng Tasikmalaya. Sebagai anak kecil, saya tentu saja tidak kuasa menolak perintah orangtua. Dengan perasaan dongkol tidak sepenuh hati -karena nyantren berarti jauh dari orangtua dan meninggalkan teman-teman sepermainan di Bandung-, pada tanggal 1 Juli 1989 saya berangkat menuju pondok diantar oleh kedua orangtua dan saudara.

Saya ingat betul, uang saku satu bulanan yang pertama kali saya terima dari ibu sebesar 10 juta 25.000 rupiah. Uang sebesar itu harus cukup untuk bekal satu bulan, termasuk untuk dugem, karaokean  makan sehari-hari, iuran pesantren, SPP sekolah dan keperluan mandi-cuci. Prakteknya, uang 25.000 rupiah tidak cukup untuk sampai ke bulan berikutnya. Untuk sekali makan saja harus mengeluarkan 500 rupiah (nasi 150 rupiah, selebihnya untuk lauk pauk, biasanya sayur, kerupuk, ikan asin, tahu tempe). Menu ini saya nikmati hampir setiap hari! Alhasil, dalam sehari saya biasanya hanya makan satu kali saja. Jika memaksakan makan 2 kali sehari, maka pertengahan bulan uang bekal sudah amblas tanpa bekas.

Sebenarnya orangtua saya masih mampu memberikan uang bekal lebih dari itu. Karena kedua orangtua saya, selain kedua-duanya PNS di Departemen Agama, bapak juga memiliki usaha sampingan di bidang transportasi alias angkutan kota. Sampai hari ini pun saya tidak pernah menanyakan soal bekal bulanan yang irit itu, karena saya yakin ada tujuan baik di balik semua kepelitan keputusan bapak. 

Masih soal akibat uang bekal yang cekak, tidak jarang pada saat kehabisan uang, saya nyaris tidak bisa makan. Untung saja, saya orang yang cukup sabar untuk duduk di samping teman-teman santri yang tengah khusyuk menyantap makanan bertabur lauk pauk, berharap ada sisa makanan yang tidak dihabiskan…  :mrgreen: Satu dua suap nasi sisa sudah cukup untuk menghibur perut saya yang terus bernyanyi.

Benar kata orang, bahwa saat kesulitan menimpa akan muncul kreatifitas dan upaya-upaya inovatif. Karena jika disikapi secara positif, kesulitan sesungguhnya adalah pendorong potensi-potensi diri dan kecerdasan manusia yang terpendam *halah*. Tidak mau terus menerus “kelaparan” setiap tengah bulan, akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi membeli KFC, McDonald makanan “siap saji”. Saya fikir, jika memasak sendiri akan bisa lebih hemat.

Jangan dibayangkan kalau memasak sendiri berarti menanak nasi, menggoreng ikan asin atau bikin sayur sendiri, tidak. Memasak sendiri berarti ngaliwet. Masaknya di mana? Karena pesantren tidak menyediakan tempat memasak untuk para santri, saya akhirnya membuat semacam bunker di hutan pinggir sungai. Untuk sampai ke bunker saya harus berjalan menyusuri hutan sekitar 10 menit.

Lauk pauknya? Cukup dengan memberikan sedikit bumbu saat ngaliwet, biasanya daun salam, sereh, minyak kelapa, garam, oncom dan ikan teri. Biasa saya sebut liwet comri, alias liwet oncom dan teri. Kalau sedang beruntung, saya bisa mendapatkan ikan di sungai dekat pesantren. Terlebih jika malam harinya turun hujan, karena biasanya ada caah (permukaan sungai naik). Pagi-pagi sekali sebelum berangkat sekolah, saya segera berangkat ke sungai untuk memeriksa genangan air di pinggir sungai yang membentuk kubangan-kubangan kecil. Biasanya ada ikan atau udang kecil, lumayan buat “memperindah” wajah  liwet comri saya di dalam kastrol (tempat membuat liwet).

Alhamdulillah, keputusan ini berbuah manfaat. Akhirnya dari 25.000 rupiah uang bekal bulanan, saya bisa menyisihkan hampir 5 ribu rupiah lebih setiap bulannya. Uang itu saya simpan dalam sebuah bambu besar, dan pada tahun ketiga saat saya belah bambu celengan, uang tabungan saya berjumlah 207.625 rupiah. Uang itu saya pergunakan untuk membeli sebuah mesik tik bekas, karena kebetulan saya punya hobi menulis. Mesin tik itu pulalah yang kemudian menjadi sumber penghasilan tambahan saya ketika melanjutkan pendidikan di Darussalam Ciamis.

Allah ya Kariim, saya bersyukur mengalami semua ini. Paling tidak, ketika sekarang dewasa *halah*, saya merasa lebih siap menghadapi ujian hidup yang lebih dari sekedar susah makan. Bukankah salahsatu ujian dan ketakutan dari persoalan hidup adalah kekurangan pangan?

Saya teringat sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa tidak dikalahkan oleh tuntutan perut, maka ia akan mampu menghadapi ujian yang lebih berat. Sebalknya, jika seseorang dikalahkan oleh perutnya, ia tidak siap menghadapi ujian apapun.”
  
Wallahul muwaffiq ilaa aqwamiththoriq

TUHAN MEMBERI APA YANG KITA BUTUHKAN

Januari 20, 2008 pukul 11:08 am | Ditulis dalam Agama, Akhlak, Artikel, Celotehan, Cerita, Curhat, Dakwah, Humor, Islam, Kisah Hikmah, Komunikasi, Manhaj, Pendidikan, Renungan, Umum | 46 Komentar

Kyai sepuh (KH. Irfan Hilmi)  pernah memberikan nasihat kepada kami para santrinya, bahwa dalam mengkabulkan doa hamba-Nya yang saleh dan dicintai-Nya, Allah akan memberikan apa yang dibutuhkan olehnya, bukan apa yang diinginkannya. Masih kata kyai sepuh, Allah mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan manusia, sedangkan manusia hanya memiiki segudang keinginan tanpa tahu pasti apa sebenarnya yang dibutuhkan olehnya dalam hidup di dunia.

Oleh karena itu, apapun bentuk jawaban Allah terhadap doa-doa yang kita mohonkan kepada-Nya, selayaknya disyukuri dan diiringi prasangka baik terhadap-Nya. Sekali lagi, jika Allah tidak mengkabulkan doa persis seperti apa yang kita minta minta, hal tersebut bukan berarti Allah tidak menjawabnya. Allah menjawab setiap doa, namun dalam jawaban yang bentuknya “lain”.

Sebagai bahan perenungan, ada baiknya kita menyimak kisah di bawah ini.  *halah*  

Diriwayatkan bahwa nabi Musa AS memiliki ummat yang rata-rata berumur panjang dan  jumlah ummatnya sangat banyak. Sebagaimana layaknya sebuah bangsa, di antara ummat nabi Musa as. ada yang hidupnya berkecukupan, bahkan lebih, ada pula yang miskin.

Pada suatu ketika Nabi Musa didatangi oleh seseorang yang miskin. Saking begitu miskinnya,  ia mengenakan pakain yang lusuh dan compang-camping. Si miskin itu kemudian berkata kepada Nabi Musa AS, “Wahai Nabiyullah Musa, tolong sampaikan kepada Allah SWT permohonanku ini agar Allah SWT menjadikan aku orang yang kaya.”

Nabi Musa AS tersenyum mendengar permintaan si miskin, kemudian berkata kepada orang tersebut, “saudaraku, perbanyaklah bersyukur kepada Allah SWT.” Si miskin tentu saja terkejut dengan jawaban Nabi Musa yang pendek itu. Dengan kesal ia berkata, ”Bagaimana aku bisa banyak bersyukur, sedangkan untuk sekedar makan saja aku kesulitan,  pakaian yang aku gunakan pun hanya satu lembar ini saja!”. Akhirnya si miskin itu pulang tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya.

Beberapa saat kemudian seorang kaya datang menghadap Nabi Musa AS. Orang tersebut bersih badannya juga rapi pakaiannya. Ia berkata kepada Nabi Musa AS, “Wahai Nabiyullah, tolong sampaikan kepada Allah SWT permohonanku ini agar aku dijadikannya sebagai orang yang miskin, terkadang aku merasa terganggu dengan hartaku itu”.

Nabi Musa AS pun tersenyum, lalu ia berkata, “wahai saudaraku, mulai saat ini engkau jangan bersyukur kepada Allah SWT”.

“Wahai Nabiyullah Musa, bagaimana aku tidak bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla telah memberiku mata yang dengannya aku dapat melihat. Telinga yang dengannya aku dapat mendengar. Allah SWT telah memberiku tangan yang dengannya aku dapat bekerja dan telah memberiku kaki yang dengannya aku dapat berjalan. Jadi bagaimana mungkin aku tidak mensyukurinya” jawab si kaya itu.

Akhirnya si kaya itu pun pulang ke rumahnya. Selanjutnya apa yang terjadi? Yang kemudian terjadi adalah si kaya menjadi semakin kaya karena ditambahkan kenikmatannya oleh Allah SWT karena ia selalu bersyukur. Sedangkan  si miskin menjadi bertambah miskin. Allah SWT mengambil semua kenikmatan-Nya sehingga si miskin itu tidak memiliki selembar pakaianpun yang melekat di tubuhnya. Ini semua karena ia tidak mau bersyukur kepada Allah SWT.

Hikmah dari kisah ini adalah, seseorang yang mampu mensyukuri setiap nikmat yang telah Allah berikan kepada dirinya akan menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat menikmati hidup. Sebaliknya, seseorang yang tidak mau bersyukur sama halnya dengan orang yang telah menjerumuskan dirinya kepada keadaan yang serba sulit dan menutup pintu rahmat Allah, lebih dari itu orang yang tidak pandai bersyukur akan menjadi orang yang sulit menikmati hidup, sekaya atau semiskin apapun hidupnya.

Wallahul muwaffiq ila aqwamiththoriq.

Tulisan ini saya dedikasikan *halah* untuk sahabat sekaligus guru saya:

  1. Prof. KH. Irfan Hilmi, pengasuh Pondok Pesantren  Darussalam Ciamis
  2. Semua yang tidak dapat saya sebutkan di sini karena keterbatasan ruang…

Ini mungkin postingan terakhir saya untuk sementara waktu. Beberapa minggu ini saya harus menunaikan tugas negara *halah* di sebuah pedalaman yang jauh dari peradaban; tidak ada listrik, telepon apalagi sambungan internet. Terimakasih sudah mau berbagi ilmu dan menjadi sahabat.

 

Resep Nasi Goreng Ala Saya

Januari 17, 2008 pukul 12:10 pm | Ditulis dalam Agama, Artikel, Celotehan, Curhat, Dakwah, Demokrasi, Humor, Islam, Kesehatan, Komunikasi, Manhaj, Mimpi, Pendidikan, Politik, Renungan, Resep Masakan Santri, Umum | 50 Komentar

2 mingguan ini, setiap kali saya membuka statistik tulisan, di kolom mesin pencari selalu ada tag “Resep Nasi Goreng”. Malah sempat dalam satu hari jumlahnya sampai 10 ekor buah. Saya baru sadar, hal ini kemungkinan besar karena saya pernah membuat postingan dengan judul “Resep Nasi Goreng Barokah, Insya Allah Mak Nyuus!”. Jadi, kalau ada Salafy Wahaby yang mencari resep nasi goreng di Google, oleh beliau diberikan alamat ke sini. Yah, Jadi merasa bersalah juga… 😯

Nah, untuk menebus rasa bersalah tersebut, serta mengobati penyakit wasir, kutil, panu, kadas, kurap, rorombeheun, ketombean rasa kecewa para pencari  resep nasi goreng tersebut, kali ini saya akan benar-benar menulis resep nasi goreng, tentunya nasi goreng ala Brad Pitt saya. Tapi sebelumnya, supaya lebih mudah memahami dan mudah mempraktekkannya, anda saya sarankan untuk  membaca pengantarnya terlebih dahulu.

Ok, langsung saja simak resep berikut ini baik-baik… *halah*.

Resep ini untuk porsi 4 orang yang kalau makan secukupnya, tidak gembul dan tidak rakus. :mrgreen: Oh ya, barangkali ada yang bertanya, kenapa hanya untuk porsi 4 orang? Bukan 5 atau kalau bisa buat 100 orang? Jawabnya tidak lain adalah, karena dalam Islam berpoligami hanya dibatasi sampai 4 orang istri saja.  Jika lebih maka hukumnya haram, status pernikahannya -yang kelima- fasakh dan tentu saja dilaknat. Maka apabila dirasa tidak akan mampu berlaku adil, maka cukuplah bagimu satu istri saja!

*benerin kopyah, plintir tasbeh*

Bahan-bahan dasar dan bumbu yang harus dipersiapkan:

  1. Nasi putih secukupnya untuk 4 orang
  2. 2 sendok makan margarin, kalau bisa mereknya Blueband :mrgreen:
  3. Minyak jelantah kelapa bebas kolesterol secukupnya
  4. 2 sendok makan gula dilarutkan dengan air (untuk penguat rasa, pengganti MSG)
  5. 4 butir telur buaya ayam
  6. Kecap secukupnya, kalau bisa mereknya Cap Bango :mrgreen:
  7. 200 gram daging ayam yang telah matang, diiris atau potong dadu
  8. 60 gr kacang polong yang sudah dimasak
  9. 100 gram udang air tawar ukuran kecil, dikupas kulitnya dan dipotong kecil
  10. 1 buah tomat ukuran sedang
  11. 4 siung bawang merah
  12. 2 siung bawang putih
  13. 5 biji muncang
  14. 2 Cabe merah
  15. 1 “buku” Kunyit
  16. JIka suka pedas, tambahkan cabe rawit satu kilo sesuai selera

Cara Membuat:

  1. Bumbu-bumbu (bawang merah, bawang putih, kunyit, tomat, cabe merah, muncang) diulek -direndos, sunda pen.- sampai halus. Sekedar tips sederhana saja: Dengan cara diulek -bukan ditumis seperti biasanya- bumbu akan bercampur secara lebih sempurna sehingga menciptakan citarasa yang sempurna pula.
  2. Panaskan -dengan api sedang- minyak kelapa dan margarin bersamaan, setelah cukup panas masukkan bumbu yang telah diulek sampai warnanya menua dan tercium aroma harum. Masukkan telur kemudian aduk hingga mengembang sampai setengah matang
  3. Masukkan nasi putih, aduk sampai bumbunya merata. Agar nasi goreng tidak terasa keras, beri air putih secukupnya. Tidak perlu khawatir, air tidak akan membuat nasi menjadi lembek, karena akan menguap dengan sendirinya.
  4. Masukan daging ayam, udang, kacang polong. Beri garam secukupnya, dan jangan lupa gula cairnya. Campuran gula putih, garam dan bawang akan menghasilkan citarasa kuat seperti MSG. Terakhir, beri kecap secukupnya.
  5. Sesaat sebelum diangkat, tambahkan daun bawang, aduk rata. Angkat, dan silahkan disajikan!

Mix fruit juice cukup pantas disandingkan sebagai minuman segar penutup. Oke saudara, tetap sehat, tetap semangat, agar kita bisa jalan-jalan terus di… Wisata Kuli WordPress. Yang penting… Semua Blogger Basodara.!

Maaf Kyai, Honornya Berapa Kalau Ceramah?

Januari 14, 2008 pukul 8:58 am | Ditulis dalam Agama, Artikel, Celotehan, Dakwah, Humor, Islam, Komunikasi, Manhaj, Mimpi, Pendidikan, Pesantren Pondok Iqra', Public Speaking, Renungan, Umum | 77 Komentar

Sebelumnya saya mohon sedekahnya maaf kalau-kalau ada yang merasa kurang sreg dengan postingan ini. Insya Allah tidak ada sedikitpun hasrat seksual dan maksud untuk mencemooh, mendiskreditkan apalagi merendahkan para dai dan muballigh. Ini murni pengalaman pribadi, sekaligus kegelisahan yang menggelayuti hati saya bertahun-tahun, dan belum tercerahkan jua. *halah*

Masih sebagai pengantar dan catatan, mohon diingat baik-baik kalau saya bukan Kyai Slamet sungguhan dan juga tidak merasa Kyai. Hanya saja kadang ada orang iseng yang manggil saya Brad Pitt kyai. Saya juga bukan Dai kondang, cuma kebetulan saja, lagi-lagi suka ada orang iseng yang mengundang saya untuk sedikit berakting bicara agama.

Biasanya pertanyaan seperti pada judul postingan di atas diungkapkan oleh “utusan panitia” dengan penuh hati-hati, sambil masam-mesem dan diringi permohonan maaf, takut kalau pertanyaan seperti ini menyinggung atau setidaknya dianggap tidak pantas oleh saya. Mereka yang mengundang, sebenarnya juga maklum kalau pertanyaan seperti ini kurang sopan untuk diajukan. Tapi toh akhirnya mereka memaksakan diri juga untuk bertanya, daripada nantinya jadi serba salah ketika memberikan sekedar 10 juta ongkos transportasi; singkatnya takut kekecilan atau mungkin juga takut kebesaran :mrgreen:

Saya masih bisa memaklumi pertanyaan seperti ini, sekalipun saya sendiri sebenarnya tidak pernah merasa siap ketika diberi pertanyaan macam beginian. Namun, jauh di dalam lubuk hati saya yang paling dalam *halah*, saya merasa ada sesuatu yang salah dengan semua ini dan cukup mengganjal. Inilah yang saya maksud dengan kegelisahan yang menggelayuti hati saya bertahun-tahun, dan belum tercerahkan jua.

Ada beberapa point yang menjadi perenungan dan kegelisahan saya:

  1. Pertanyaan mengenai besaran honor sangat memancing timbulnya thoma atau mengharapkan balasan berupa materi atas perbuatannya (dalam hal memberikan ceramah agama). Ini tentu saja sangat mengganggu hati saya ketika berniat. Sebagai ilustrasi saja, pada suatu ketika, ada seorang muballig yang kebetulan tengah membutuhkan sejumlah uang untuk suatu keperluan. Karena sedang tidak memegang uang cash, akhirnya si muballig memberanikan diri untuk meminjam uang kepada temannya. Alhamdulillah, temannya memberikan pinjaman sejumlah yang dibutuhkan si muballig. Sewaktu ditanya kapan bisa mengembalikan uangnya, si muballig menjawab, “insya Allah, hari Senin besok.” Temannya bertanya kenapa yakin kalau hari senin sudah bisa mengembalikan, nah… si muballig menjawab dengan yakin, “Pan ana kebetulan ada jadwal ngasih ceramah hari minggunya…” :mrgreen: 
  2. Menerima imbalan berupa uang atau apapun setelah memberikan ceramah memang wajar, namun ketika yang muncul ke permukaan adalah bahwa ustadz anu “tarif”-nya segitu, kyai anu “ongkosnya” segini, muballig anu “uang dapur”nya sekian, yang terjadi seolah-olah komersialisasi agama. Bagi pengundang yang memiliki sumber dana besar, mungkin tidak masalah. Lha kalau yang ingin mengundangnya seret pendanaan, apa harus jadi tidak jadi menggelar pengajian atau tablig di tempatnya? 😥
  3. Saya seringkali merasa bahwa kita ummat Islam, saat ini cenderung lebih senang menjadi “kaum pendengar” daripada menjadi “kaum pelajar”. Ketika digelar tablig akbar, masyarakat akan datang berduyun-duyun. Namun pengajian rutinan untuk belajar agama dari dasar, sepertinya semua punya alasan untuk tidak datang. Mungkin, kalau mendengar ceramah nyaris tidak ada beban apa-apa selain duduk dan mendengarkan. Beda halnya dengan “belajar beneran”, terasa membosankan, cape, malu (karena takut disuruh sama gurunya), harus berfikir lebih ekstra dan tidak ramai seperti tablig akbar. Kalau kondisi seperti ini berlarut-larut, entah akan seperti apa wajah kita sebagai ummat.

Ah, sekali lagi… ini hanya kegelisahan saya saja…   

PUNYA 3 TEMAN, TAPI HANYA 1 YANG SETIA

Januari 13, 2008 pukul 4:10 am | Ditulis dalam Agama, Artikel, Celotehan, Dakwah, Islam, Manhaj, Mimpi, Pendidikan, Renungan, Umum | 21 Komentar

Siapapun, pasti memerlukan kehadiran teman. Teman yang diharapkan dan dicari tentu saja teman baik, dimana  orang seringkali menyebutnya sebagai teman setia. Ada yang pernah bilang kepada saya, bahwa teman seringkali “lebih berguna” daripada saudara. Alasannya? “kebanyakan masalah yang dihadapi oleh seseorang, seringkali terselesaikan karena bantuan teman.” Dan alasan-alasan lainnya. Tetapi tetap saja intinya adalah: manusia memerlukan teman, karena seperti yang kita maklumi, manusia dalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. 

Satu hal lagi yang perlu kita ingat adalah, teman bukan hanya dapat menolong dan bermanfaat, karena seringkali lantaran teman pulalah seseorang terperosok dalam  kerugian, malapetaka dan dosa.

Mencari teman yang sempurna memang sulit, sampai seorang penyair pernah mengungkapkannya, “siapa mencari teman tanpa cacat, dia akan hidup tanpa pernah mempunyai seorang teman“. Nah lho… Namun demikian, mencari dan memilih teman tetap saja harus dilakukan.

Seperti saya bilang sebelumnya, banyak orang menyimpulkan bahwa teman terbaik adalah teman sejati, yaitu teman yang mau berbagi dan bersama dalam suka maupun duka. Islam sendiri tidak menolak pandangan ini, hanya saja tinjauan mengenai suka dan duka dalam Islam tetap mempunyai dua sisi; dunia dan akhirat. Karena berhubungan dengan kepetingan akhirat, maka persahabatan sejati dalam konsep Islam adalah persahabatan atau pertemanan yang dilandasi karena cinta kepada Allah SWT.  

Setelah membaca pengantar di atas *halah*, mungkin yang terbetik dalam benak kawan-kawan sekalian mengenai sosok teman adalah -hanya- makhluk dengan ras manusia.

Nah, apakah benar demikian adanya? Bahwa yang menjadi teman kita hanyalah sosok-sosok makhluk bernama manusia saja? Simak paragraf selanjutnya di bawah ini… *halah*. Selanjutnya kita akan berbicara mengenai “teman” dalam kajian agama. *halah*

*betulin peci dulu…*

Sejatinya, yang menjadi teman manusia itu tidak hanya manusia saja, melainkan ada tiga macam: keluarga, harta dan amal perbuatannya. Ketiga hal ini disebut sebagai teman karena keberadaanya dibutuhkan, di samping tentunya selalu menemani, menyertai dan melekat dengan manusia pada umumnya.

Yang pertamana Keluarga -tentu saja ini dari ras manusia, kecuali kalau ada yang mengkalim bahwa dirinya memiliki kekerabatan dengan unta :mrgreen: – adalah orang-orang yang berada dalam ikatan kekerabatan, masih memiliki hubungan darah, atau disatukan oleh ikatan pernikahan. Yang menjadi inti dari keluarga adalah ayah, ibu, istri/suami dan anak. Dalam prakteknya, orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki syarat-syarat sebagai keluarga bisa “dianggap” atau acap kali “diklaim” sebagai keluarga. Misalnya dalam hubungan persahabatan yang begitu kental, sehingga perlakuan kita terhadap sahabat seperti layaknya terhadap keluarga. Bahkan dalam budaya dan tradisi orang Indian, perlakuan terhadap seorang teman menempati prioritas lebih tinggi dibandingkan keluarga.

Sedangkan harta adalah segala bentuk benda atau materi yang secara hukum diakui secara sah kepemilikannya. Harta dipandang sebagai teman manusia karena keberadaannya dibutuhkan, dicari dan “dapat dimintai tolong” untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Adapun amal adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh manusia dalam keadaan sadar serta memenuhi syarat kecakapan secara hukum (mukallaf atau tertaklif hukum). Amal atau perbuatan manusia akan berakibat secara hukum. Karenanya dalam hukum agama kita mengenal dua macam amal; amal baik dan amal salah (amal saleh dan amal buruk). Amal baik akan dibalas dengan pahala, sedangkan amal buruk dibalas dengan siksaan atau azab.

Nah… Sampai di sini mudah-mudahan masih bisa difahami *ditimpuk*

Dari ketiga macam teman tersebut, kata Rasulullah SAW ternyata hanya satu yang benar-benar teman setia, karena ia tidak hanya menemani kita ketika hidup, namun juga akan terus menemani kita sampai mati. Yang satu hal itu adalah amal perbuatan manusia.

Berbeda dengan keluarga dan harta yang hanya akan menyertai dan menemani kita pada saat kita hidup, amal akan terus menerus mendampingi kita dengan setia sampai pada mahsyar, saat di mana kita akan menghadapi pengadilan Allah.

Kata Rasulullah SAW, harta hanya akan menyertai manusi sampai malaikat maut mencabut nyawa dari raganya. Sedangkan keluarga hanya akan tetap menyertai dan menemani kita sampai jasad kita dibaringkan ke dalam liang lahat. Setelah jasad kita ditutup tanah dengan sempurna, keluarga kita akan beranjak meninggalkan kita dalam kesendirian. Sebesar apapun cinta mereka (istri, suami, anak, orangtua, saudara, kerabat, handai taulan), tidak akan ada seorangpun yang akan terus menerus duduk menemani di pinggir kuburan untuk menemani  kita, apalagi jika harus sama-sama dibaringkan dalam lubang peristirahatan yang sama dalam keadaan hidup, ya mustahil dan gak ada kerjaan :mrgreen:

“Kesetiaan” keluarga terhadap kita juga seringkali terpupus sejalan dengan bergulirnya waktu. Pernah dengar kasus adik kakak yang bertengkar bahkan sampai ke pengadilan “hanya gara-gara” memperebutkan harta warisan? Atau pecahnya hubungan keluarga karena persoalan wasiat dan harta warisan? Sangat ironis, saat di mana seharusnya seluruh anggota keluarga “memikirkan”, mendoakan, menunaikan wasiat dan amanat almarhum, melunasi hutang harta dan hutang almarhum kepada Allah, mereka malah gontok-gontokan memperebutkan harta.

Saya suka membayangkan, orang yang telah meninggal dunia mungkin akan menyesali dirinya di dalam kubur karena telah meninggalkan harta yang malah menjadi sabab musabab perseteruan antar anak-anaknya sendiri. Ia juga mungkin menyesal karena tidak dapat mewariskan keluhuran akhlak dan agama bagi keluarganya.

Nah,   adapun amal, ia akan terus menemani kita dengan setia. Saat di dalam kubur, amal-amal kita semasa hiduplah yang menentukan mampu tidaknya kita menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Amal pula yang akan menentukan apakah saat menjalani fase kehidupan di alam kubur guna menunggu datangnya hari kiamat, kita akan memperoleh kenikmatan atau justeru siksa.

Maka, ketika kita menginginkan ditemani oleh teman yang baik, maka beramal baiklah. Demikian kata Rasulullah SAW.

Wallahulmuwaffiq ilaa aqwamiththoriq. 

 

 

Hasil Mukernas: Usung Suharto dan Gus Dur Sebagai Capres dan Cawapres 2009

Januari 6, 2008 pukul 12:04 pm | Ditulis dalam Agama, Artikel, Celotehan, Dakwah, Demokrasi, Islam, Komunikasi, Manhaj, Mimpi, Pendidikan, Politik, Renungan, Umum | 44 Komentar

Musyawarah Kerja Nasional I PBI baru saja usai malam tadi. Tepat pada pukul 23.00 mukernas partai yang berlangsung selama 3 hari di Hotel Melati 2 Bandung akhirnya resmi ditutup dengan tiga ketukan palu pimpinan sidang dan ucapan hamdallah. Raut muka puas terpancar dari wajah-wajah para peserta mukernas, sekalipun kelelahan tampak .

Salahsatu keputusan penting dari Mukernas I Partai Blog Indonesia (PBI) adalah rekomendasi untuk memperjuangkan H. Muhammad Suharto dan KH Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilihan umum presiden 2009 mendatang.

Selain itu, Mukernas merekomendasikan DPP segera melakukan tindakan organisatoris kepada pengurus PBI di semua tingkatan, anggota-anggota F-BI (Fraksi Blog Indonesia) di DPR dan DPRD, serta pengurus badan otonom yang menolak hasil keputusan mukernas untuk mengusung dan memperjuang HM Suharto dan KH. Abdurrahman Wahid sebagai capres dan cawapres pada pemilihan presiden 2009 yang akan datangi. Tindakan organisatoris yang dimaksud dapat berupa teguran keras sampai pemecatan secara sangat tidak terhormat.

Keputusan mukernas untuk mengusung dan memperjuang HM Suharto dan KH. Abdurrahman Wahid sebagai capres dan cawapres ini bukan tanpa alasan. Dipilihnya kedua mantan presiden ini didasarkan pada penilaian objektif dan history.

HM Suharto dinilai masih sangat layak untuk memimpin bangsa ini. Pengalamannya menjadi presiden selama 32 tahun, di samping kharisma dan pengaruhnya yang mengakar di tubuh TNI, diyakini akan sangat berpengaruh baik serta membantu recovery ekonomi, sosial dan politik negeri ini. Pembawaannya yang kalem, tidak banyak bicara namun tegas dan simpatik merupakan kelebihan beliau di bandingkan para pemimpin lainnya di Indonesia.   

Sejarah perjalanan bangsa ini ketika dipimpin HM Suharto juga membuktikan bahwa beliau adalah pemimpin yang mumpuni. Pertumbuhan ekonomi di awal era Orde Baru, sebetulnya patut diacungi jempol. Jika toh sekarang rezim Soeharto dituding hanya mewariskan utang bertumpuk-tumpuk atau sisa kebobrokan sistem ekonomi mikro dan makro yang menyesakkan, pemerintah Orde Baru ternyata pernah menyelamatkan bangsa ini dari gelombang kehancuran.

Laju inflasi menjelang peristiwa G-30-S/PKI contohnya, bisa dibilang edan. Jangan kaget, indeks biaya hidup tahun 1960 sampai tahun 1966, naik 438 kali! Harga beras naik 824 kali! Harga tekstil naik 717 kali! Nah, sementara harga-harga itu mengganas, nilai rupiah sekarat dari Rp.160 saja menjadi Rp.120 ribu!

Itu semua agaknya menjadi bukti ilustratif betapa malapetaka yang menghantam bangsa Indonesia saat itu demikian dahsyat. Belum lagi persoalan ekonomi yang mencabuti satu per satu ajal rakyat Indonesia ini masih harus dipinggirkan oleh drama pergulatan politik nasional. Selepas pecahnya gerakan 30 September, panggung politik nasional memang diwarnai intrik-intrik dahsyat merebut tampuk kekuasaan pemerintah.

Di tengah pergulatan elit politik nasional, penanganan masalah ekonomi terpaksa menempuh cara-cara politis. Maklum dua kekuatan besar — kelompak komunis dan anti-komunis (digalang ABRI) — sama-sama bertarung menunggu tongkat estafet kekuasaan dari Presiden Soekarno. 

Pada awal-awalnya, menurut ekonom Emil Salim dan Frans Seda, pemerintahan Orde Baru diakui cukup progresif. Pemerintahan yang dikomandoi Pak Harto ini mampu memadukan semua komponen masyarakat dalam mengatasi persoalan bangsa. Di bidang ekonomi, para ekonom dari FE-UI di antaranya, dapat dirangkul dalam menyumbangkan konsep alternatif untuk memulihkan perekonomian nasional.

Misalnya saja sanering rupiah atau menghapus tiga nol di balik angka ribuan tanpa mengusahakan rencana pengendalian defisit anggaran. Meski dinilai konyol, langkah politis-ekonomis ini efektif menerapkan tujuan ganda: memulihkan ekonomi sekaligus mengurangi kontrol kelompok PKI yang menggondol kantung-kantung rupiah. Kecuali itu, upaya lain yang sempat digalang kelompok ekonom adalah membuat alternatif seperti menaikkan harga bensin atau tarif angkutan umum, serta menaikkan gaji pegawai negeri.

Jurus para ekonom yang diakomodir pemerintahan Orde Baru itu, paling tidak mampu menyusun program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi yang cukup komprehensif. Ada lima jurus yang dianggap manjur. Pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir.

Kebijakan jitu lainnya yang digulirkan pemerintah saat itu adalah deregulasi dan debirokratisasi (Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967, dan seterusnya). Pemerintah juga membuka diri untuk penanaman modal asing, meski dilakukan secara bertahap.

Hasilnya, laju inflasi mulai jinak. Dari kisaran angka 650 persen (tahun 1966), melunak jadi 100 persen (1967), turun lagi 50 persen (1968), bahkan terkendali di bilangan 13 persen (1969). Ini prestasi yang diraih pemerintah pada saat itu.

Adapun KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal Gus Dur dinilai paling pas untuk mendampingi HM Suharto sebagai wakil presiden. Inipun bukan tanpa alasan.

Gus Dur adalah presiden Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis. Gus Dur berhasil menunjukkan contoh pemerintahan yang mendengarkan rakyat, Istana yang terbuka, dan presiden yang demokratis. Itu terbukti dengan kasus Imlek bagi masyarakat Cina di Indonesia. Sementara, di Dili Gus Dur sempat meminta maaf atas segala kengerian yang terjadi di sana.

Di balik kelemahan fisiknya -kemampuan penglihatan yang kurang serta penyakit stroke yang membahayakan- Gus Dur adalah sosok yang punya banyak daya tarik. Dalam pemikirannya ia mampu menggabungkan dunia Islam yang tradisional dengan dunia modern, bahkan dunia Barat. Pemikiran semacam itu disebut sebagai: Merambah jalan menuju masa depan.

*wekker berbunyi nyaring….!* Ternyata sudah jam 05.30….! Terpaksa salat subuh kesiangan… Mimpi rupanya… sekali lagi, maaf ternyata cuma mimpi buruk tho! :mrgreen:

Selesai salat subuh kesiangan, saya masih menyempatkan diri untuk membaca surat Yaa Siin dan berdoa untuk pak Harto. Semoga beliau segera diberikan kesembuhan atas sakitnya. Kalau sembuh? Ya biar beliau bisa menjalani proses pengadilan secara baik dan fair. Agar tidak terombang-ambing seperti sekarang… Kasihan beliau, kasihan keluarganya, kasihan juga bangsa ini…

:mrgreen:

 

Suami Bakhil bin Kikir?

Januari 3, 2008 pukul 1:39 pm | Ditulis dalam Agama, Artikel, Dakwah, Islam, Komunikasi, Manhaj, Pendidikan, Renungan, Umum | 22 Komentar

Siapapun tidak akan suka jika disebut sebagai orang bakhil atau kikir. Bahkan ” si mbahnya” bakhil atau yang sudah nyata-nyata bakhil juga akan tersinggung bila disebut orang bakhil atau kikir. Kalaupun ada orang yang menyentil sikapnya yang bakhil, ia akan berujar, “saya bukan kikir, tapi hemat. Bukan perhitungan kalau mengeluarkan harta, tapi cermat.” 8)

Ungkapan bakhil biasanya identik dengan masalah harta dan kekayaan. Kebanyakan yang berperilaku bakhil adalah mereka yang memiliki harta atau kekayaan. Adapun orang miskin, bisa dibilang tidak mungkin bersikap bakhil, karena memang tidak ada yang perlu dibakhilkan :mrgreen:

Secara bahasa, bakhil bisa berarti kikir, pelit. Menurut al-Jahiz, bakhil pada dasarnya adalah sifat yang disandangkan kepada orang dewasa yang waras alias tidak gila dan memiliki harta. Anak-anak, orang gila dan orang miskin tidak dapat disebut sebagai orang yang bakhil.

Ada ulama yang mendefinisikan bakhil sebagai sifat atau perbuatan seseorang yang tidak mau mengeluarkan atau menyisihkan sebagian harta yang dimilikinya untuk orang lain.

Saya pribadi mendefinisikan bakhil sebagai suatu perbuatan di mana seseorang tidak mau mengeluarkan atau membelanjakan (menafkahkan) hartanya untuk nafkah yang bersifat wajib dan atau sunnah. Yang saya maksudkan dengan nafkah wajib itu adalah; (1)mencukupi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarga baik yang bersifat primer (sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan), sekunder maupun tersier (bagi yang mampu), (2)  memenuhi  kewajiban agama yang bersifat khusus seperti zakat, infak, sedekah, qurban, menunaikan ibadah haji dan bentuk-bentuk ibadah yang di dalamnya terdapat nilai biaya untuk menunaikannya.

Tulisan kali ini akan difokuskan pada persoalan sifat bakhil pada seorang suami atau kepala rumah tangga. Dari definisi bakhil di atas, maka jelas jika seorang suami tidak mau (bukan tidak mampu) menafkahi istrinya, ia pantas menyandang gelar bakhil karena dipandang enggan mengeluarkan nafkah yang bersifat wajib (karena menafkahi istri hukumnya wajib). Adapun suami yang tidak mampu menafkahi istrinya karena satu dan lain hal, ia tidak dikategorikan sebagai suami yang bakhil.

Secara garis besar, nafkah kepada istri terbagi kepada dua bentuk; Nafkah lahir dan nafkah batin.

Nafkah lahir adalah nafkah dalam bentuk materi seperti yang diulas sedikit di atas, yaitu pembelanjaan harta untuk memenuhi kebutukan akan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Bahkan menurut imam Hanafi, bagi seorang suami yang memiliki kemampuan secara materi atau katakanlah berkelebihan harta, ia juga diwajibkan memenuhi kebutuhan istrinya yang bersifat tersier seperti membelikan perhiasan, pakaian yang bagus, makanan yang lezat serta buah-buahan (catatan: di jazirah Arab, dahulu buah-buahan termasuk dalam kategori makanan mewah) dan rekreasi.

Adapun bentuk nafkah batin kepada istri di antaranya adalah memberikan kepuasan secara seksual, menyenangkan hatinya dengan sikap yang baik, menghormati dan menghargainya serta memberikan ketenangan secara kejiwaan. Membimbing, mendidik agama dan mensalehkan istri juga termasuk ke dalam bentuk nafkah batin.

Ternyata, kebakhilan suami bukan saja dalam bentuk lahir atau materi. Suami yang mahal senyum, tidak mau bercanda, enggan memanjakan istri, tidak mau mengajari agama dan menyenangkan hati istrinya adalah suami yang bakhil secara batin.

 

Untuk para istri: Nah, kira-kira suami anda bakhil bin kikir tidak?

Untuk para suami: Kita (karena saya juga seorang suami :mrgreen: ) sudah menafkahi istri kita secara baik atau belum? kalau belum, jangan-jangan kita termasuk orang yang bergelar S.BK, alias suami bakhil bin kikir…

*halah… kok bikin postingan beginian*

*bersiap dilempar durian*

*ngumpet*

8)

Wassalam

 

Meneladani Seekor Anjing? Why Not?!?

Januari 2, 2008 pukul 6:19 am | Ditulis dalam Agama, Artikel, Dakwah, Islam, Manhaj, Pendidikan, Renungan, Umum | 26 Komentar

Bagi kebanyakan orang -terutama muslim-, hewan yang satu ini dianggap sebagai hewan yang menakutkan, menjijikkan, kotor dan label-label “minus” lainnya. Dalam syariat (hukum) Islam sendiri, segala sesuatu yang basah (kullu ruthbin) dan berasal dari tubuh anjing -seperti air liur, kencing, kotoran, hidung dan lain sebagainya- dihukumi sebagai najis mugholladzoh (najis berat). Sehingga ketika seseorang terkena olehnya, ia diwajibkan untuk mencucinya dengan 7 kali basuhan dan salahsatunya menggunakan tanah. Selain itu, hukum memakannya adalah haram.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan anjing. Saya lebih tertarik untuk sedikit mengupas sisi baik yang terdapat pada hewan yang “kadung” dicap sebagai hewan berkasta rendah lagi najis ini, lalu kemudian mencoba meneladaninya.  

Lha, kok meneladani anjing? Yak!, seperti saya bilang di atas, di balik label-label negatif dari hewan ini, ada sifat-sifat baik yang justeru menurut al-Qulyubi dalam kitabnya an-Nawadir patut dijadikan sebagai teladan. Bahkan beliau menambahkan, sekiranya sifat-sifat baik yang melekat pada diri anjing dimiliki oleh manusia, niscaya ia akan sampai pada kedudukan yang mulia di sisi Allah SWT. Lagi pula, kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari segala sesuatu yang baik. Jangankan anjing yang termasuk hewan besar :mrgreen: , Allah SWT juga memerintahkan kita mengambil pelajaran serta hikmah dari seekor nyamuk atau lalat yang juga “bernasib sama”, yaitu sama-sama dicap menjijikkan, kotor dan biang penyakit.

Nah, berikut ini sifat-sifat baik yang ada pada seekor anjing.

Pertama, anjing adalah hewan yang seringkali merasakan lapar. Hal ini mengingatkan kita pada keadaan orang-orang yang saleh. Orang-orang saleh adalah mereka yang senantiasa ruhaninya merasakan lapar akan “harapan dan rindu” untuk diridlai dan dicintai oleh Allah SWT. Bagi orang-orang saleh, setiap perintah Allah SWT adalah pengenyang lapar ruhaninya, dan setiap detik usia adalah waktu untuk bersantap. 

Kedua, pada umumnya anjing tidak memiliki tempat tinggal yang mewah di dunia. Anjing tidak pernah meminta diberikan tempat tinggal yang mewah kepada tuannya. Di manapun ia ditempatkan, ia akan dengan senang hati menerimanya. Sama seperti halnya orang yang berpasrah diri (tawakkal) kepada Allah SWT. Insan yang bertawakkal adalah mereka yang menyerahkan segala urusan hidupnya kepada Allah SWT. Karenanya, di manapun, bagaimanapun dan seperti apapun keadaan dirinya, ia tidak pernah berkeluh kesah karena kuatnya keyakinan bahwa Allah SWT akan memberikan apa yang dibutuhkan olehnya, bukan apa yang diinginkan.

Ketiga, Anjing adalah hewan yang biasanya hanya tidur sebentar, seperti keberadaan orang yang punya kecintaan besar pada Allah (muhibbin). Seorang pecinta Tuhan, lebih banyak menggunakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, daripada “membuangnya” percuma dengan tidur yang berlebihan. Bahkan ketika tidurpun, ruhaninya tetap “siaga” dan “terjaga” untuk mengingat Allah.

Keempat, anjing tidak memiliki harta, sebagaimana kondisi orang-orang zuhud atau merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah SWT kepadanya.

Kelima, anjing tidak akan meninggalkan tuannya sendirian, kendati tuannya sendiri tidak menghiraukannya, seperti sifat orang-orang yang selalu ingin dekat pada Allah (muridin).

Keenam, anjing rela ditempatkan di mana saja, seperti sifatnya orang-orang tawadlu’.

Ketujuh, anjing rela untuk pergi dari tempat di mana ia diusir ke tempat lainnya, seperti sifatnya orang-orang yang ridla kepada kehendak Allah.

Kedelapan, jika seekor anjing dipukul lalu diberi sesuatu. Ia akan kembali dan mengambilnya tanpa merasa dendam, seperti sifat orang-orang yang khusyu’.

Masih banyak sebenarnya sifat-sifat baik yang terdapat pada seekor anjing yang bisa kita jadikan sebagai sebuah tauladan. Tinggal terserah kita saja, mau tidak belajar dari seekor anjing?

Wallaahulmuwaffiq ilaa aqwaamiththoriq.  

 

 

Laman Berikutnya »

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.